Makalah Etika dan Hukum
Kesehatan (Operasi Cesar Menggunakan Silet)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pelayanan kesehatan pada dasarnya
bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit,
termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan
individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam
hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat
berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi,
melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan
tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya
maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat
memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun
pemulihan kesehatannya.
Dalam
pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, sering timbul pelanggaran etik,
penyebabnya tidak lain karena tidak jelasnya hubungan kerja antara dokter
dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak atau perjanjian kerja yang jelas
yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sementara iu, perkembangan
teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya pelanggaran etik, karena
pemilihan teknologi kesehatan yang tidak di dahului dengan pengkajian teknologi
dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang tidak etis dengan
membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien.
Tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh dokter baik pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya terapi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Misalnya, pasien yang seharusnya tidak perlu diperiksa dengan alat atau teknologi kesehatan tertentu, namun karena alatnya tersedia, pasien dipaksa menggunakan alat tersebut dalam pemeriksaan atau pengobatan, sehingga pasien harus membayar lebih mahal.
Menyadari hal tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik perlu ditingkatan,untuk itu dalam makalah ini akan di angkat kasus mengenai operasi cesar dengan menggunakan silet. Tepat pukul 10.00 pasien tersebut di bawah ke ruang operasi lalu di bius dan bersiap-siap menjalani operasi, saat hendak melakukan pembedahan staf ruang operasi tidak menemukan pisau bedah lalu segera meminta pada keluarga pasien untuk mencari pisau bedah di apotik RSUD namun apotik tersebut kehabisan stok pisau bedah karena pasien sudah terlanjur di bius ,dokter yang bertanggung jawab atas operasi tersebut langsung segera mengambil langkah darurat dengan mnggunakan pisau silet yang biasanya di gunakan untuk mencukur bulu pasien operasi. Si pasien tersebut yang hanya di bius setengah badan juga mengetahui proses pembedahan tersebut dan nampaknya tidak keberatan atas langkah yang di ambil dokter tersebut. Operasi akhirnya berjalan dengan lancar, ibu dan anaknya pun selamat meski dengan pembedahan yang tidak umum.
Tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh dokter baik pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya terapi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Misalnya, pasien yang seharusnya tidak perlu diperiksa dengan alat atau teknologi kesehatan tertentu, namun karena alatnya tersedia, pasien dipaksa menggunakan alat tersebut dalam pemeriksaan atau pengobatan, sehingga pasien harus membayar lebih mahal.
Menyadari hal tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik perlu ditingkatan,untuk itu dalam makalah ini akan di angkat kasus mengenai operasi cesar dengan menggunakan silet. Tepat pukul 10.00 pasien tersebut di bawah ke ruang operasi lalu di bius dan bersiap-siap menjalani operasi, saat hendak melakukan pembedahan staf ruang operasi tidak menemukan pisau bedah lalu segera meminta pada keluarga pasien untuk mencari pisau bedah di apotik RSUD namun apotik tersebut kehabisan stok pisau bedah karena pasien sudah terlanjur di bius ,dokter yang bertanggung jawab atas operasi tersebut langsung segera mengambil langkah darurat dengan mnggunakan pisau silet yang biasanya di gunakan untuk mencukur bulu pasien operasi. Si pasien tersebut yang hanya di bius setengah badan juga mengetahui proses pembedahan tersebut dan nampaknya tidak keberatan atas langkah yang di ambil dokter tersebut. Operasi akhirnya berjalan dengan lancar, ibu dan anaknya pun selamat meski dengan pembedahan yang tidak umum.
Dalam Kode
Etik Kedokteran Indonesia, di tegaskan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat kewajibannya melindungi hidup makhluk insani, mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Jika ia tidak mampu
melakukan statu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib merujuk penderita lepada
dokter lain yang mempunyai keahlian dalam menangani penyakit tersebut. Seorang
dokter tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas statu kegagalan untuk
menyembuhkan pasien, CACAT atau meninggal, bilamana dokter telah melakukan
segala upaya sesuai dengan keahlian dan kemampuan profesionalnya.
Bertolak dari hal tersebut diatas, dapat dibedakan antara apa yang dimaksud sebagai upaya yang baik dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab, lalai atau ceroboh. Artinya apabila seorang dokter telah melakukan segala upaya, kemampuan, keahlian, dan pengalamannya untuk merawat pasien atau penderita, dokter tersebut dianggap telah berbuat upaya yang baik dan telah melakukan tugasnya sesuai dengan etik kedokteran. Sebaliknya, jika seorang dokter tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang seharusnya ditinggalkan oleh sesama dokter lain, pada umumnya di dalam situasi yang sama, dokter yang bersangkutan dapat dikatakan telah melanggar standar profesi kedokteran.
Menurut Koeswadji (1992 : 104), standar profesi adalah nilai atau itikad baik dokter yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dean yang tidak dapat dilakukan dalam statu kegiatan profesi, merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.
Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter. Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Bertolak dari hal tersebut diatas, dapat dibedakan antara apa yang dimaksud sebagai upaya yang baik dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab, lalai atau ceroboh. Artinya apabila seorang dokter telah melakukan segala upaya, kemampuan, keahlian, dan pengalamannya untuk merawat pasien atau penderita, dokter tersebut dianggap telah berbuat upaya yang baik dan telah melakukan tugasnya sesuai dengan etik kedokteran. Sebaliknya, jika seorang dokter tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang seharusnya ditinggalkan oleh sesama dokter lain, pada umumnya di dalam situasi yang sama, dokter yang bersangkutan dapat dikatakan telah melanggar standar profesi kedokteran.
Menurut Koeswadji (1992 : 104), standar profesi adalah nilai atau itikad baik dokter yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dean yang tidak dapat dilakukan dalam statu kegiatan profesi, merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.
Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter. Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari
berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan
teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter
untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan
lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan
efek samping yang tidak diinginkan.
1.2 Rumusan masalah
- Bagaimana
kajian perspektif standar operasional dalam sebuah operasi?
- Siapa yang
bertanggung jawab dalam kasus ini?
- Apakah
melanggar kode etik, pidana,perdata atau administratif?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pengambilan kasus ini
adalah untuk :
- Mengetahui
bagaimana kajian standar operasional dalam sebuah operasi
- Mengetahui
siapakah yang bertanggung jawab dalam kasus ini
- Mengetahui
apakah kasus ini melanggar kode etik ,pidana,perdata,atau kah administratif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian perspektif standar
operasional dalam sebuah operasi
Untuk kasus
yang penulis angkat sebenarnya telah menyalahi standar operasional prosedur
operasi ,karena menggunakan alat yang tidak biasa digunakan pada saat operasi
umumnya,walaupun sebenarnya bahan dari alat yang di pakai tersebut sama dengan
pisau bedah yang biasa di gunakan,namun peruntukannya memiliki beberapa
perbedaan dimana silet tersebut seharusnya di gunakan untuk mencukur bulu
pasien pada saat operasi sementara pisau bedah di gunakan untuk melakukan
pembedahan. Dalam kasus ini ketua IDI (ikatan dokter Indonesia) berkata bahwa
silet steril itu dibenarkan dan tidak menjadi masalah selama silet tersebut
betul-betul steril. Jadi sebenarnya walaupun menyalahi standar operasional
prosedur operasi penggunaan silet steril itu tidak menjadi masalah bagi dokter
karena juga di desak dengan keadaan emergency atau darurat dari si pasien.
Seharusnya yang sesuai dengan standar operasional prosedur sebelum operasi
dimulai semua perlengakapan untuk pembedahan telah siap d ruang operasi
sehingga pada saat dokter masuk
2.2 Pertanggung jawaban atas kasus
Mengenai
pertanggung jawaban atas kasus operasi cesar menggunakan silet ada beberapa
penjelasan mengenai tindakan pelayanan medis sebelum menentukan siapa yang
berhak untuk bertanggung jawab atas permasalahan ini, simaklah penjelasan
berikut ini.
Secara umum
yang di maksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap pelayanan atau program
yang di tujukan pada perorangan atau masyarakat dan di laksanakan secara
perseorangan atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi dengan tujuan
untuk memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan yang di punyai
“(Azwar.1996)
System
pelayan kesehatan melalui rumah sakit adalah tatanan daripada tingkat pelayanan
rumah sakit yang disusun menurut pola rujukan timbal antara
masyarakat,puskesmas,rumah sakit,dan sarana kesehatan lainnya sehingga tercapai
pelayanan yang bermutu,berdaya guna,dan berhasil guna.
Permenkes
No. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medic Persetujuan tindakan
medic digunakan ketika terjadi hubungan professional antar dokter dengan pasiennya,dengan
persetujuan tindakan medic antara dokter dan pasien terjadi suatu perjanjian
yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Perkjanjian antara dokter
dan pasien dalam persetujuan tindakan medic adalah perjanjian daya upaya/usaha
yang maksimal (inspanning verbitennis)
Dari
perjanjian ini dokter harus berusaha denga segala ikhtiar dan usahanya
,mengerahkan segenap kemampuannya,keterampilannya,ilmu pengetahuannya untuk
menyembuhkan pasien.dokter harus memberuka perawatan dengan berhati-hati dan
penuh perhatian sesuai dengan standar pelayanan medic,sebab penyimpangan dari
standar berarti pelanggaran perjanjian
Makna dari perjanjian ini adalah
bahwa dokter harus mengambil alternatif untuk menunjuk dokter dan atau sarana
kesehatan lainnya manakala ia merasa tidak mampu untuk melanjutkan upaya
pengobatan dan perawatan pasien tersebut.
Permenkes
No. 585/MENKES/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medic pasal 1
menyebutkan persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang di berikan oleh
pihak pasien dan keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang
di lakukan terhadap pasien tersebut.
Pada
permulaan abad ke XX mulai terjadi perubahan bahwa rumah sakit dapat di mintai
tanggung jawab hukum menurut doktrin”repondeat superior” dalam arti rumah sakit
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh petugas kesehatan
bawahannya baik sebagai status tetap maupun tidak,kecuali bagi mereka yang
menjalankan tugas profesi sebagai tamu visitor yang sekarang banyak di
selenggarakan di rumah sakit (poernomo,2000:150)
Dengan
perkembangan ilmu kesehatan secara pesat ,rumah sakit pun tidak dapat
melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang di lakukan oleh bawahannya,
doktrin charitable community dalam bidang hukum tidak dapat di pergunakan lagi
terhadap tanggung jawab hokum rumah sakit.
Rumah sakit
secara institusional bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi yang
timbul berkenaan dengan penyelenggaraan terhadap keewajibannya dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan . merupakan suatu kewajiban rumah sakit untuk
tersedianya dan kesiapan tenaga kesehatan ,tersedianya sarana dan fasilitas
pelayanan kesehatan serta siap pakai. Selain itu rumah sakit bertanggung jawab
atas pemeliharaan segala sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam hal
ini tanggung jawab rumah sakit dapat di dasarkan pada(Millee,1996:326:327) :
- Pelanggaran kewajiban oleh tenaga
kesehatan
- Pelanggaran kewajiban rumah sakit
Rumah sakit
bertanggung jawab untuk melengakpi segala peralatan yang di perlukan untuk
penegakkan diagnosis dan terapi terhadap pasien.
Dengan demikian pelanggaran
kewajiban oleh tenaga kesehatan akan melahirkan tanggung jawab tenaga
kesehatan,sedangkan pelanggaran kewajiban rumah sakit akan melahirkan tanggung
jawab rumah sakit dalam penyediaan sarana dan fasilitas .atas dasar ini maka
tanggung jawab hokum dalam pelayanan kesehatan pada asasnya di bebankan kepada
tenaga kesehatan dan kepada rumah sakit.
Tanggung
jawab dokter apabila yang menjalankan tugasnya di rumah sakit pemerintah, maka
pemerintah (dalam hal ini sebagai atasannya ikut bertanggung jawab).
Pertanggung jawaban atas perbuatan dokter menurut dalmy iskandar (1998 )di
dasarkan pada pertimbangan bahwa dokter tersebut bekerja untuk dan atas nama
rumah sakit yang bersangkutan,serta dalam melaksanakan pekerjaannya,terikat
pada peraturan kerja yang ada pada rumah sakit tersebut.
Freidon,mechanic,dan
Cockerham dalam benyamin lomenta 1987(melihat pelaksanaan kesehatan tidak
terlepas dari tiga komponen utama dari system pelayanan kesehatan yaitu
ketenagakerjaan yang meliputi tenaga kesehatan
(dokter,perawat,bidan,dll),fasilitas yang meliputi semua lokasi fisik yang
melayani pasien atau penunjang pelayanan pasien seperti apotik,dan
laboratorium.fasilitas uatam ialah rumah sakit termasuk semua perangkatnya
seperti laboratorium,ruangan pendidikan,dsb. Komponen tiga adalah teknologi
meliputi setiap perangkat pelaksanaan yang penting bagi penegakan masalah
kesehatan,penanganannya,bahkan pencegahannya .
· Tanggung
Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien
Dokter
sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang
dilakukan terhadap pasien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan
pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya
yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar
profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien.
Dokter tidak bisa dituntut bila:
§Berusaha
mengobati pasiennya secarasungguh-sungguh
§Tidak
menelantarkan pasien
§Meringankan
penderitaan pasien
§Bekerja
secara tulus ikhlas
§Menggunakan
ilmudan keterampilan secara maksimal
§Berusaha
menyelamatkan pasien
§Walaupun
pasiennya cacat atau meninggal dunia .
Jadi, dari
penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa yang berhak bertanggung jawab
sepenuhnya adalah pihak rumah sakit itu sendiri, karena tidak menyediakan
fasilitas peralatan pada saat operasi akan di laksanakan,dimana pada bagian
penyiapan alat-alat rumah sakit yang bertanggung jawab adalah bagian pengadaan
alat-alat rumah sakit,sebab seperti yang kita ketahui bahwa dalam setiap rumah
sakit sudah ada alokasi dana di tiap-tiap substansi. Dan bukan hanya rumah
sakit saja Dokter pun seharusnya membenah diri jika operasi akan dilaksanakan,
dokter harus ikut melakukan pengecekan alat-alat sebelum operasi dilaksanakan
agar tidak terjadi lagi hal-hal yang beresiko pada pasien dan semua berjalan
dengan standar operasional prosedur medik. Walaupun demikian tindakan yang
dilakukan dokter telah memiliki persetujuan medic dimana pembedahan ini di
ketahui oleh pasien beserta keluarganya dan menyetujui untuk melakukan
pembedahan dengan menggunakan silet.
2.3 Hukum pidana, perdata, administratif
atau kah Kode etik
Dalam kasus “operasi dengan
menggunakan silet” merupakan kasus yang berhubungan dengan pihak rumah
sakit,dimana kasus ini merupakan kasus malpraktek etik. Dokter
tidak dapat di kenai hukum karena dokter tersebut sudah melakukan tugasnya
dengan baik yaitu melindungi pasien dari penderitaan,serta menyelamatkan nyawa
pasien. Pokok permasalahannya hanya karena peralatan (pisau bedah ) tidak
terdapat dalam ruangan operasi tersebut si dokter menggunakan alat seadanya
yaitu “silet steril” untuk menyelamatkan nyawa si pasien tersebut, dengan
beberapa pertimbangan yaitu pasiennya sudah terlanjur di bius jadi harus segera
di lakukan tindakan emergency oleh dokter tersebut. Sebenarnya kasus ini
merupakan pelanggaran etik karena si dokter hanya berusaha membantu
menyelamatkan pasien tersebut sehingga tidak ada pilihan lain lagi untuk
membedah pasien tersebut dengan menggunakan silet,yang sebenarnya juga
mempunyai resiko medic bagi pasien.
Untuk sanksi
yang di berikan ,semua telah di atur dalam sebuah
lembaga disiplin profesi MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran)
sebagai lembaga independen yang memiliki suatu kewenangan khusus dalam
mengukur telah terjadi tindak pelanggaran terhadap kode etik kedokteran ataukah
tidak dan pemerintah melalui amanat Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 khususnya pasal 55
membentuk sebuah lembaga disiplin profesi, bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
yang berfungsi untuk menegakkan disiplin bagi
dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran.
Adapun
sanksi yang diberikan MKEK kepada dokter yang melanggar disusun secara bertahap
seperti berikut :
a. Penasehatan.
b. Peringatan.
c. Pembinaan (pendidikan perilaku
etis).
d. Reschoolling (untuk
pelanggar berat).
Dalam kasus seperti ini yang bertanggung jawab adalah pihak rumah sakit
karena tidak menyediakan fasilitas untuk pelayanan kesehatan dalam hal ini
adalah peralatan untuk operasi yang memadai sehingga menyebabkan
bawahannya(dokter) melakukan tindakan yang beresiko untuk menindaklanjuti operasi
tersebut. Disini sudah sangat jelas bahwa mutu pelayanan kesehatan rumah sakit
tersebut masih belum baik di lihat dari segi fasilitas pelayanan kesehatannya
yang kurang, serta akan berdampak negative bagi citra rumah sakit walaupun si
pasien berhasil melakukan operasi cesar tersebut. Jadi, harus ada introspeksi
diri bagi rumah sakit dan dokter untuk membangun mutu pelayanan kesehatan yang
bergengsi dan di acungi jempol sebagai system dan subsistem pelayan kesehatan
bagi masyarakat.
Seperti pada
pernyataan ini Dokter tidak bisa dituntut bila:
§Berusaha
mengobati pasiennya secara sungguh-sungguh
§Tidak
menelantarkan pasien
§Meringankan
penderitaan pasien
§Bekerja
secara tulus ikhlas
§Menggunakan
ilmu dan keterampilan secara maksimal
§Berusaha
menyelamatkan pasien
§Walaupun pasiennya cacat atau
meninggal dunia
2.3.1 Tanggung
Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien
Dokter
sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang
dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan
pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya
yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar
profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien.
Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila
penyelesaiannya dari segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani
oleh profesinya sendiri dalam hal ini dewan kode etik profesi yang ada
diorganisasi profesi, dan bila penyelesaian dari segi hukum maka harus dilihat apakah
hal ini sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau keduannya dan ini
membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang berkompeten dibidang
hukum.
Dari penjelasan di atas bahwa dalam
kasus yang penulis angkat adalah kasus yang masuk dalam malpraktek etik. Dimana
untuk penanganan atau pemberian sanksi akan di tangani oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang berfungsi untuk
menegakkan disiplin bagi dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Standar pelayanan medis ini
merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan,
yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan mencegah terjadinya kelalaian
staff medis dalam melakukan tindakan medis. Dalam kaitannya dengan profesi
dokter di perlukan estándar pelayanan medis yang mencakup: standar ketenangan,
standar prosedur, standar sarana, dan standar hasil yang di harapkan.
Untuk standar pelayanan medis
baiknya ada persiapan lebih dulu sebelum memulai tindakan operasi agar tindakan
pembedahannya berjalan dengan lancar sesuai dengan standar operasional prosedur
medic. Untuk pertanggung jawaban kasus ini lebih menitik beratkan pada pihak
rumah sakit sebagai penyedia sarana kesehatan yang kurang maksimal dimana
fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut masih di bawah standar di lihat dari
segi kualitas mutu pelayanan kesehatan,
3.2 Saran
1. Pemahaman dan bekerja dengan kehati-hatian,
kecermatan, menghindarkan bekerja dengan cerobah, adalah cara terbaik dalam melakukan
praktek kedokteran sehingga dapat terhindar dari kelalaian/malpraktek.
2. Standar profesi kedokteran dan standar kompetensi
rumah sakit merupakan hal penting untuk menghindarkan terjadinya kelalaian,
maka perlunya pemberlakuan standar praktek kedokteran Nasional dan
terlegalisasi dengan jelas.
3. Rumah Sakit sebagai institusi pengelola layanan
praktek kedokteran dan tenaga kesehatan harus memperjelas kedudukannya dan
hubungannya dengan pelaku/pemberi pelayanan keperawatan, sehingga dapat
diperjelas bentuk tanggung jawab dari masing-masing pihak
4. Baiknya sebelum melakukan kegiatan pembedahan,
jangan lupa untuk mengecek alat-alat di dalam ruangan operasi .
Daftar pustaka
http://HUKUM%20dan%20ETIK%20KEDOKTERAN,%20STANDAR%20PROFESI%20MEDIS%20dan%20AUDIT%20MEDIS%20%C2%AB%20Budiyanto’s%20Blog.com
http://pelayanan.kesehatan.cesar
.htm
etika dan
hokum kesehatan