PENGARUH PROSES DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH MENTIMUN (Cucumus sativus L.)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman merupakan salah satu satu bukti bahwa Allah Maha
Pengasih dan Penyayang karena melalui tanaman tersebut makhluk hidup dapat
mencukupi kebutuhannya. Dalam Al-qur’an disebutkan ayat-ayat yang menjelaskan
tentang kekuasaan Allah, sehingga apa yang telah diciptakannya patut disyukuri
dan dipelajari. Allah berfirman dalam Qs.Asy-Syu’araa’ ayat & yang berbunyi
:
öNs9urr& (#÷rtt n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOÍx. ÇÐÈ
artinya :
dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi berapakah banyaknya Kami
tumbuhkan di bumi itu perlabagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
Ayat di atas menjelaskan Allah maha Kuasa untuk
menumbuhkan segala macam tumbuhan. Selain itu, ayat di atas secara tidak
langsung Allah memerintahkan kepada manusia yang diberi akal untuk meneliti dan
mengkaji segala sesuatu yang ada di bumi termasuk dalam pertumbuhan tanaman.
Mentimun (Cucumis
sativus L.) suku labu-labuan atau Curcubitaceae merupakan tanaman sayuran
yang dipanen pada saat buah masih muda. Mentimun dapat dibudidayakan di daerah
luas baik di ladang, halaman rumah maupun di rumah kaca. Menurut Savitri (2008),
tanaman mentimun tumbuh baik di dataran rendah sampai 1.300 dpl. Tanaman ini
diduga berasal dari daerah pegunungan Himalaya di India Utara.
Produksi mentimun memiliki potensi yang baik
untuk dikembangkan oleh para petani untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena
semakin meningkatnya laju pertumbuhan
jumlah penduduk. Produksi mentimun di Indonesia masih sangat rendah. Menurut
Warintek (2006) berdasarkan BPS 2006 luas panen mentimun di Sumatra Utara pada
tahun 2005 sebesar 3.591 Ha dengan produksi sebesar 44.904 ton dan produksi
rata-rata 125.06 Kw/Ha, padahal potensinya dapat mencapai 20 ton/Ha.
Dalam usaha peningkatan
hasil produksi mentimun untuk memenuhi tingkat kebutuhan seiring laju
pertumbuhan penduduk, para petani masih banyak mengalami kendala untuk
memproduksi benih dikarenakan benih mentimun mempunyai viabilitas yang rendah.
Benih merupakan salah satu
faktor produksi utama yang digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan hasil
produksi tanaman. Untuk meningkatkan hasil produksi tersebut maka benih yang
digunakan harus bermutu tinggi. Menurut ISTA (1980), benih bermutu tinggi
adalah benih yang standart kualitasnya dinyatakan dengan daya kecambah minimum
80%, benih murni 98%.
Rendahnya viabilitas benih mentimun dapat
diakibatkan oleh banyak faktor. Penanganan benih seperti ekstraksi dan
pengeringan seringkali menimbulkan kerusakan mekanis pada benih sehingga
viabilitas benih tersebut menurun. Menurut Hardini (1985), kerusakan
mekanis tertentu dapat langsung
menyebabkan penurunan viabilitas dengan cepat, sedangkan secara tidak langsung
mempengaruhi vigor dan viabilitas benih. Kerusakan tersebut dapat mempercepat proses
penuaan atau membuka peluang bagi timbulnya serangan cendawan atau pusat
infeksi bagi cendawan saprofit.
Kemunduran benih atau turunnya mutu benih
dapat diakibatkan oleh kondisi penyimpanan atau kesalahan dalam penangan benih.
Kemunduran benih merupakan masalah yang cukup
utama dalam pengembangan tanaman, khususnya tanaman mentimun.
Kemunduran benih merupakan proses mundurnya mutu fisiologis benih baik secara
fisik, fisiologis maupun biokimia yang mengakibatkan
menurunya viabilitas benih (Rusmin, 2008).
Selain itu, kemunduran benih dapat disebabkan
oleh kadar air benih. menurut Kuswanto (1996), kadar air benih yang tinggi
dapat menyebabkan tejadinya penurunan viabilitas benih, begitu juga sebaliknya. Kadar air benih terlalu rendah 3%-5% dapat
menyebabkan penurunan laju perkecambahan benih, benih menjadi keras , sehingga
pada waktu dikecambahkan benih tidak dapat berimbibisi dan dapat menyebabkan
kematian embrio. Hardini (1985), menambahkan bahwa pada saat pengolahan benih
,makin tinggi kadar air, benih condong untuk rusak dan makin
rendah kadar air, benih condong untuk retak.
Menurut Harrington dalam Justice and Bass (1987) menegenai pengeringan benih menyatakan bahwa setiap penurunan 1%
kadar air benih dapat menggandakan masa simpan benih tanpa resiko kehilangan
daya kecambahnya. Agrawal et al (1998) dalam Arif (2009),
menjelaskan bahwa pengeringan secara alami dengan menggunakan sumber energy
sinar matahari dapat berdampak pada penurunan mutu akibat terpapar pada
fluktuasi suhu ekstrim dan curah hujan.
Alternatif lain yang untuk pengeringan untuk mengurangi
kerusakan fisik, maka dapat dikeringkan dengan cara kering angin. Pengeringan benih yang dengan cara kering
angin kemungkinan dapat mengurangi kerusakan pada
benih yang dapat berdampak pada penurunan mutu fisiolgis benih karena adanya respirasi benih. Untuk itu perlu dilakuan penelitian ini yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengeringan dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.
Apakah ada perbedaan cara pengeringan kering
angin dan panas terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.)?
2.
Apakah ada pengaruh lama pengeringan terhadap
viabilitas benih mentimun (Cucumis
sativus L.)?
3.
Apakah ada pengaruh cara pengeringan (kering
angin dan panas matahari) dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih
mentimun (Cucumis sativus L.)?
1.3. Tujuan
Adapaun Tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui perbedaan cara pengeringan
kering angin dan panas matahari terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
2.
Untuk mengetahui pengaruh lama pengeringan
terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis
sativus L.).
3.
Untuk mengetahui pengaruh cara pengeringan
(kering angin dan panas matahari) dan lama pengeringan terhadap viabilitas
benih mentimun (Cucumis sativus L.).
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari
penelitian ini adalah :
1.
Ada peerbedaan cara pengeringan kering angin dan
panas matahari terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
2.
Ada pengaruh lama pengeringan dengan cara panas
matahari terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
3.
Ada pengaruh cara pengeringan (kering angin dan
panas matahari) dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan
informasi kepada masyarakat untuk mengetahui proses dan lama pengeringan yang
tepat terhadap viabilitas benih mentimun.
2. Sebagai
informasi dasar untuk peneliti selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Botani Mentimun
Mentimun (Cucumis sativus L.) memiliki
akar tunggang dan bulu-bulu akar tetapi daya tembusnya relatif dangkal, sekitar
kedalaman 30-60 cm. Oleh karena itu, tanaman mentimun termasuk peka
terhadap kekurangan dan kelebihan air (Rukmana, 1994).
Batang mentimun berupa batang lunak dan berair,
berbentuk pipih, berambut halus, berbuku-buku, dan berwarna
hijau segar. Batang utama dapat menumbuhkan cabang anakan. Ruas batang atau
buku-buku batang berukuran 7―10 cm dan berdiameter 10―15 mm. Diameter cabang
anakan lebih kecil dari batang utama. Pucuk batang aktif memanjang (Imdad dan
Nawangsih, 2001).
Daun mentimun terdiri atas helaian daun (lamina),
tangkai daun, dan ibu tulang daun. Helaian daun mempunyai bangun dasar bulat
atau bangun ginjal, bagian ujung daun runcing berganda. Pangkal
daun berlekuk, tepi daun bergerigi ganda. Daun mentimun dewasa
mempunyai ukuran panjang dan lebar yang dapat mencapai 20 cm, berwarna hijau
tua hingga hijau muda, permukaan daun berbuluhalus dan berkerut (Imdad dan
Nawangsih, 2001).
Bunga mentimun berbentuk terompet dan berwarna
kuning bila sudah mekar. Mentimun termasuk tanaman berumah satu, artinya bunga
jantan dan betina letaknya terpisah, tetapi masih dalam satu tanaman. Bunga
betina mempunyai bakal buah yang membengkak, terletak di bawah mahkota bunga,
sedangkan pada bunga jantan tidak mempunyai bagian bakal buah yang membengkak
(Sumpena, 2008).
Buah mentimun merupakan buah sejati tunggal,
terjadi dari satu bunga yang terdiri satu bakal buah saja (Imdad dan Nawangsih,
2001). Buah berkedudukan menggantung dan dapat berbentuk bulat, kotak, lonjong
atau memanjang dengan ukuran yang beragam. Jumlah dan ukuran duri atau kutil
yang terserak pada ukuran buah beragam, biasanya lebih jelas terlihat pada buah
muda. Warna kulit buah juga beragam dari hijau pucat hingga hijau sangat gelap,
daging bagian dalam berwarna putih hingga putih kekuningan. Biji matang berbentuk
pipih dan berwarna putih (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997) dalam Muttaqin
(2010).
2.1.1. Taksonomi Tanaman Mentimun
Menurut Sharma (2002) dalam Sofia (2007)
tanaman mentimun diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi:
Spermatophyta
Subdivisio:
Angiospermae
Kelas:
Dicotyledonae
Ordo:
Cucurbitales
Famili: Cucurbitacea
Genus: Cucumis
Spesies:Cucumissativus
L.
2.2. Benih
Benih hasil perkembangbiakkan generatif,
berdasarkan sifat fisiologisnya dapat dibedakan menjadi benih orthodox dan benih rekalsitral. Tetapi pada umumnya hanya benih
kelompok benih orthodox yang dapat
diproses (dikeringkan) dan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama. Setelah diproses, benih tidak selalu langsung
digunakan, ada yang disimpan selama jangka waktu tertentu. Oleh karena itu,
penanganan benih harus dilakukan dengan kaida-kaidah ilmiah agar diperoleh
benih yang berkualitas baik dan tahan lama. Dengan demikian, pada saat
digunakan, kondisi benih masih memadai sebagai alat perkembangbiakkan, yakni
memiliki prosentase viabilitas,
kevigoran, kemurnian dan kesehatan yang baik (Sadjad,1975).
Menurut Ance (2003), benih bermutu ialah benih
yang telah dinyatakan sebagai benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman
unggul. benih berkualits unggul memiliki daya tumbuh yang lebih dari 95% dengan
ketentuan – ketentuan sebagai berikut : (a) memiliki viabilitas atau dapat
mempetahankan kelangsungan pertumbuhannya menjadi tanaman yang baik (berkecambah
, tumbuh dengan normal, merupakan tanaman yang menghasilkan benih yang matang).
(b) Memiliki kemurnian (Tueness seeds), artinya terbebas dari kotoran, terbebas
dari benih jenis tanaman lain, terbebas dari benih varietas lain dan terbebas
pula dari biji herba serta hama dan penyakit.
Benih yang bermutu dapat diuji dengan daya
kecambah. Daya kecambah dapat diartikan sebagai mekar dan berkembangnya bagian
– bagian penting dari embrio, suatu benih yang menunjukkan kemampuannya untuk
tumbuh secara normal pada lingkungan yang sesuai. Dengan demikian pengujian
daya tumbuh atau daya berkecambah benih ialah pengujian akan sejumlah benih,
beberapa persentase dari jumlah benih tersebut yang dapat atau mampu
berkecambah pada jangka waktu yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan
kemampuan tumbuh secara normal yaitu dimana perkecambahan benih tersebut
menunjukkan kemampuan untuk tumbuh yang baik dan normal (Ance, 2003) dalam Sa’diyah
(2009).
2.2.1. Pengeringan Benih
Pengeringan merupakan suatu proses yang penting
dalam pemeliharaan hasil dan mutu produksi pertanian pada umumnya dan produksi
benih pada khususnya. Benih yang baru dipanen umumnya masih mempunyai kadar air
yang cukup tinggi sehingga tidak baik untuk disimpan, karena akan
cepat mengalami kemunduran (Sadjad, 1980). Agar dapat disimpan dengan aman maka
benih perlu dikeringkan dahulu dengan cara pengeringan yang tepat.
Pengeringan terjadi apabila ada perpindahan uap
air dari benih menuju udara sekitarnya, dan dari dalam benih menuju permukaan
benih itu sendiri. Laju perpindahan uap air dari permukaan benih menuju udara
disekitarnya dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan permukaan, kelembaban nisbi
udara dan temperatur udara pengering (Feistritzer, 1975).
Johndon (1966) dalam Hermawan (1999)
mengemukakan bahwa dalam pengeringan udara mempunyai dua fungsi, yatu sebagai
mendium pemanas dan sebagai medium pembawa air proses pengeringan pada
biji-bijian berlangsung karena perbedaan tekanan uap antara udara pengering
dengan benih yang dikeringkan. Akibat pemanasan, suhu benih meningkat dan
tekanan uap meningkat pula. Akibat perbedaan tekanan uap tersebut terjadi
aliran uap air dari tekanan uap tinggi (benih) ke tekanan uap rendah (udara sekitar).
Lama pengeringan dan suhu sangat perlu
diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan.
Pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sihingga
kulit benih berkerut bahkan retak (Sudarsono, 1977). Menurut Suhardi (1990)
pengeringan awal yang dilakukan pada suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case
hardening yaitu bagian luar (permukaan) bahan sudah kering, sedangkan
bagian dalamnya masih basah. Perubahan suhu secara mendadak ketika mengeringkan
benih akan menyebabkan kerusakan hipokotil, sehingga bila benih dikecambahkan
akan menghasilkan kecambah abnormal yang mencerminkan kerusakan kromosom di
dalam inti sel (Suseno, 1974).
Pemberian energi panas pada suatu jenis bahan
dalam proses pengeringan ternyata tidak hanya menurunkan kadar airnya saja tapi
juga sangat berpengaruh terhadap mutu dari hasil keringnya. Pengaruh
pengeringan yang umum ditemukan pada hasil pertanian yang dikeringkan adalah
perubahan warna kecoklat-coklatan (browning) dan pengerasan permukaan bahan yang dikeringkan (case
hardening). Perubahan warna ini terjadi karena adanya penguraian thermis
dari suatu molekul yang kompleks menjadi struktur yang sederhana, reaksi ini
biasanya terjadi pada suhu tinggi. Reaksi perubahan warna dipengaruhi dari
bahan yang dikeringkan juga disebabkan terjadinya penurunan kadar air secara
drastiS (Amir, 1992) dalam Hermawan (1999).
2.3. Perkecambahan
2.3.1.
PengertianPerkecambahanBiji
Menurut fisiologiwan benih, perkecambahan
benih ialah muncul dan berkembangnya struktur penting dari embrio serta menunjukkan
kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada keadaan alam yang
menguntungkan (Pranoto, 1990).
Menurut Kamil (1979), menjelaskan
perkecambahan adalah pengaktivan kembali
aktivitas pertumbuhan embrionik axis di dalam biji yang terhenti untuk
kemudian membentuk bibit (seedling). Secara visual dan morfologis suatu biji
yang berkecambah (germinate) umumnya ditandai dengan terlihatnya akar (radikel)
atau daun (plumula) yang meninjol keluar dari biji.
2.3.2.
Type Perkecambahan
Terdapat dua tipe
pertumbuhan awal dari suatu kecambah tanaman, yaitu (Sutopo, 2002) :
1. Tipe
Epigeal (Epigeous) dimana munculnya radikel diikuti dengan memanjangnya
hipokotil secara kesuluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumulae ke atas
permukaan tanah.
2. Tipe
hipogeal (Hypogeous), dimana munculnya radikel
diikui dengan pemanjangan plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan
tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan
tanah.
2.3.3. Faktor
yang Mempengaruhi Perkecambahan
Menurut Copeland (1976), terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi
perkecambahan benih yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor
dalam antara lain tingkat kemasakan benih, ukuran benih dan adanya dormansi. Faktor
luar yaitu faktor lingkungan tumbuh yang
meliputi air, suhu, cahaya, dan medium tumbuh.
1.
Faktor Internal
a.
Tigkat kematangan benih
Benih yang ditanam sebelum tingkat kemasakan
fisiologisnya tercapai tidak mempunyai daya tumbuh yang tinggi, kematangan
benih perlu dipersiapkan untuk proses perkecambahan (Abidin, 1987).
b.
Ukuran benih
Menurut Sutopo (2004), benih yang berukuran
besar dan berat mempunyai cadangan makanan yang lebih banyak jika dibandingkan
dengan benih yang berukuran kecil
c.
Dormansi
Dormansi adalah quiescence. Quiescence
adalah kondisi benih tidak berkecambah
karena tidak tersedia lingkungan yang optimum
untuk perkecambahan (Wirawan, 2002).
2.
Faktor Eksternal
a.
Air
Dalam siklus hidup tanaman, mulai dari perkecambahan
sampai panen, tanaman selalu membutuhkan air. Tidak satupun proses metabolisme
tanaman dapat berlangsung tanpa air. Besarnya kebutuhan air steiap fase
pertumbuhan selama siklus hidupnya tidak sama. Hal ini berhubungan langsung
dengan proses fisiologis, morfologis dan kombinasi kedua faktor di atas denagan
faktor-faktor lingkungan. Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui
penyerapan oleh akar. Besarnya air yang diserap oleh akar tanaman sangat
bergantung pada kadar air dalam tanah yang ditentukan oleh kemampuan partikel
tanah menahan air dan kemampuan akar untuk menyerap (Jumin, 1992). Menurut Pranoto (1990) air merupakan
kebutuhan dasar yang utama untuk perkecambahan. Kebutuhan air berbeda-beda bergantung
dari spesies tanaman. Beberapa benih dapat bertahan pada kondisi air yang
berlebihan, di lain pihak ada jenis benih tertentu yang peka terhadap air.
Fungsi air ialah untuk (1) melunakkan kulit
benih sehingga embrio dan endosperma membengkak yang menyebakan retaknya kulit
benih, (2) memungkinkan pertukaran gas sehingga suplai oksigen ke dalam benih
terjadi, (3) mengencerkan protoplasma sehingga terjadi proses-proses
metabolisme di dalam benih, dan (4) menstranslokasikan dengan cadangan makanan
ke titik tumbuh yang memerlukan (Pranoto, 1990). Loveless (1989) menambahkan
bahwa secara fisik air berpengaruh pada kelakuan pada pelunakan biuji sehingga
embrio mampu menembusnya. Sebagian besar air dalam protoplasma sel biji hilang
pada waktu biji mengalami pemasakan sempurna dan lepas dari induknya, sejak iu
hampir semua metabolisme sel berhenti sampai perkecambahan di mulai. Secara
biokomia air mempengaruhi perkembangan sel dimana dengan air fungsi dari
organel-organel akan akif kembali.
Air merupakan faktor terpenting dalam kehidupan
tanaman. pentingnya air bagi tumbuhan juga disebutkan dalam al-qur’an. Allah
berfirman dalam surat An-Nahl (16) ayat 11 :
àMÎ6/Zã /ä3s9 ÏmÎ/ tíö¨9$# cqçG÷¨9$#ur @ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ZptUy 5Qöqs)Ïj9 crã¤6xÿtGt ÇÊÊÈ
Artinya : “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan
itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang memikirkan.”
Menurut Mahendra (2008), Hubungan air dan
tumbuhan bersifat mutlak sebagaimana hubungan air dengan manusia dan hewan.
Kemutlakan ini tampak dari ketergantungan tumbuhan akan air. Tumbuhan tidak
bisa hidup tanpa air. Tampaknyaa Allah sengaja mendesain kehidupan ini
sedemikian. Ada makhluk ciptan Nya yang berkedudukan primer, sekunder dan
tersier.
b.
Suhu
Pengaruh suhu terhadap perkecambahan benih dapat
dicerminkan melalui suhu kardinal, yaitu suhu minimum, optimum dan
maksimum dimana perkecambahan dapat terjadi. Suhu minimum yaitu suhu terendah
dimana perkecambahan dapat terjadi, suhu di bawah suhu tersebut tidak
memungkinkan perkecambahan. Suhu optimum yaitu suhu dimana perkecambahan
tertinggi dicapai pada periode terpendek. Suhu maksimum yaitu suhu tertinggi dimana perkecambahan dapat terjadi, di
atas suhu tersebut tidak terjadi perkecambahan karena merupakan batas ambang
kritis benih tidak hidup (Pranoto, 1990).
c.
Oksigen
Dalam perkecambahan O2 digunakan
untuk respirasi. Konsentrasi oksigen yang diperlukan untuk perkecambahan adalah
20 %.
d.
Cahaya
Tidak semua benih
memerlukan cahaya untuk tumbuhnya. Bagi
benih yang memerlukan panjang penyinaran tertentu selama jangka waktu
pengujian, maka baik cahaya alam atau buatan harus diatur dengan intensitas
yang merata sedemikian rupa hingga panas yang timbul tidak mempengaruhi suhu
yang telah ditetapkan. Cahaya harus diberikan selama 8 jam setiap 24 jam,
sedanga pada benih yang memerlukan suhu berganti, penyinaran dilakukan pada
suhu yang lebih tinggi (Direktorat Jendral Tanaman Panagan dan Hortikultura, 2000).
Menurut Pranoto (1990) pengaruh cahaya hanya
terjadi pada benih yang lembab. Pada benih dengan kadar air rendah, pengaruh
cahaya relatif tidak ada terhadap perkecambahan. Hal ini
disebabkan karena fitokrom, yaitu pigmen penyerap cahaya, tidak aktif pada
benih berkadar air rendah.
2.3.4. Proses Perkecambahan
Perkecambahan biji dapat dibedakan
atas dua macam proses, yaitu : (1) proses perkecambahan fisiologis, dan (2)
proses perkecambahan morfologis.
1. Proses Perkecambahan
Fisiologis
Secara fisiologis, terjadi
beberapa proses berurutan selama perkecambahan biji, yaitu :
a. Penyerapan
air. Penyerapan air atau imbibisi merupakan suatu fase yang disebut sebagai
langkah awakening yang berhubungan dengan tiga peristiwa, yaitu penyerapan air
secara cepat oleh lapisan bikoloid dari benih yang kering; reaktivasi dari
makro molekul dan organel - organel; dan respirasi yang menghasilkan ATP untuk
supplai energy (Pranoto, 1990).
b. Perombakan
Cadangan Makanan
Setelah masuknya air ke dalam
benih terjadi reaktivasi enzim dan hormon, maka berlangsunglah proses
perombakan di dalam jaringan cadangan makan (Pranoto,1990). Fungsi pokok enzim
yang terdapat di dalam biji adalah untuk merubah pati dan hemiselulosa menjadi
gula, lemak menjadi gliserin dan asam lemak, dan protein menjadi asam-asam
amino (Kamil, 1979).
c. Pengangkutan
Makanan
Makanan cadangan yang telah
dicerna dengan hasilnya asam amino, asam lemak, dan gula (glukosa), di angkut
dari daerah jaringan penyimpanan makanan ke daerah yang membutuhkan, yaitu
titik tumbuh pada embrionik axis, plumulae dan radikula (Kamil,1979).
d. Asimilasi
Asimilasi merupakan tahap
terahir dalam penggunaan cadangan makanan
dan merupakan suatu proses pembangunan kembali, pada
proses asimilasi ini protein yang telah dirombak oleh enzim protease
menjadi asam amino dan diangkut ketitik tumbuh disusun kembali menjadi protein
baru. Protein baru ini kemudian dipergunakan untuk membentuk sel-sel baru
terutama pembentukan protoplasma baru (Kamil, 1979).
e. Pernafasan
Pernafasan pada proses
perkecambahan akan menghasilkan energy. Energy hasil pernafasan ini akan
dibebasakan namun sebagaian lagi dipakai biji untuk pembelahan sel dan
penembusan kulit biji oleh radikel (Kamil,1979).
f. Pertumbuhan
Proses pertumbuhan ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu pertumbuhan embrionik axis dan pemanjangan bibit. Pertumbuhan embrionik axis
terjadi karena dua buah peristiwa, yaitu pembesaran sel-sel yang sudah
ada, pembentukan sel-sel baru pada titik tumbuh, radikel, dan plumula (Kamil, 1979).
2. Proses Perekcambahan Morfologis
Secara morfologis sukar
ditentukan dengan pasti kapan perkecambhan biji berahir dan pertumbuhan
dimulai. Proses perkecambahan morfologis merupakan proses tahapan segera
sesudah proses pengangkutan makanan dan pernapasan. Uraian disini masih
meliputi pembelahan sel dan pemanjangan sel, akan tetapi lebih dikaitkan dengan
pertumbuhan embrionic axis yang dapat dilihat atau diamati mata telanjang yaitu
keluarnya radikel atau plumula dari kulit biji.pembelahan sel dan pemanjangan
sel dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan penonjolan radikel ke luar kulit
benih terutama disebabkan oleh pemanjangan sel. Sedangkan pembelahan sel hanya
menyebabkan perbanyakan jumlah sel yang kemudian memanjang (Kamil,1979).
Gambar 2.1. Proses Perkecambahan
2.3.5. Kriteria Perkecambahan
a. Kecambah
normal
Kecambah
normal adalah kecambah yang menunjukkan potensi untuk berkembang lebih lanjut
menjadi tanaman normal bila di tumbuhkan pada tanah yang berkualitas baik dan
di bawah kondisi kelembaban, suhu, dan cahaya yang sesuai. Yang termasuk
kategori kecambah normal adalah kecambah
utu atau lengkap, kecambah dengan sedikit kerusakan, dan kecambah dengan
infeksi sekunder.
b. Kecambah
abnormal
Kecambah
abnormal tidak menunjukkan adanya potensi untuk berkembanh menjadi tanaman
normal jika ditumbuhkan pada tanah berkualitas baik dan di bawah kondisi
kelembaban suhu dan cahaya yang sesuai bagi pertumbuhannya. Kecambah abnormal
dapat diklasifikasikan menjadi : (1) kecambah rusak, yaitu kecambah dengan
struktur pentingnya telah hilang atau sangat jelek dan kerusakan yang tidak
dapat diperbaiki lagi sehingga perkembangan kecambah yang seimbang tidak dapat
diharapkan lagi. (2) kecambah yang tidak sempurna pembentukannya atau tak
seimbang, yaitu kecambah dengan perkembangan yang lemah atau secara fisiologis
mengalami gangguan atau apabila struktur peningnya tidak terbentuk atau tidak
proporsional. (3) kecambah busuk, yaitu kecambah dengan struktur pentingnya
terkena penyakit hingga parah atau membusuk sebagai akibat infeksi primer
sehingga perkembangan menjadi tidak normal.
c. Benih
tidak berkecambah
Benih
yang tidak berkecambah adalah benih yang hingga ahir periode pengujian tidak
dapat berkecambah. Benih yang tidak berkecambah dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : (1) benih keras, yaitu benih yang hingga ahir periode pengujian tetap
keras, sebab benih tersebut tidak menyerap air. (2) benih segar, yaitu benih
yang tidak keras dan juga tidak berkecambah hingga ahir pengujian tetapi tetap
bersih, mantap, dan tampaknya masih hidup. Sebagai salah satu bentuk dormansi
fisiologi, benih demikian mampu menyerap air tetapi perkembangan selanjutnya
terhambat atau terhalangi. (3) benih mati, yaitu benih yang pada ahir pengujian
tidak berkecambah tetapi bukan sebagai benih keras meupun benih segar. Biasanya
benih mati lunak, warnanya memudar,danseringkali bercendawan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 . Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktorial
dan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah cara pengeringan yang terdiri dua
macam perlakuan. Faktor kedua adalah lama pengeringan yang terdiri dari 8 taraf
perlakuan. Sehingga dalam penelitian ini didapatkan 16 kombinasi perlakuan.
Faktor I adalah cara
pengeringan yang trdiri dari 2 macam, yaitu :
J1 = kering angin
J2 = panas matahari
Faktor II adalah lama
pengeringan yang terdiri dari 8 taraf, yaitu :
L1 = 0 hari
L2 = 1 hari
L3 = 2 hari
L4 = 3 hari
L5 = 4 hari
L6 = 5 hari
L 7= 6 hari
L 8 =7 hari
Tabel 3.1. Kombinasi Perlakuan Antara Cara Pengeringan
dan Lama Pengeringan.
Lama pengeringa (L)
|
Cara pengeringan (J)
|
|
J1
|
J2
|
|
L0
|
L0J1
|
L0J2
|
L1
|
L1J1
|
L1J2
|
L2
|
L2J1
|
L2J2
|
L3
|
L3J1
|
L3J2
|
L4
|
L4J1
|
L4J2
|
L5
|
L5J1
|
L5J2
|
L6
|
L6J1
|
L6J2
|
L7
|
L7J1
|
L7J2
|
L8
|
L8J1
|
L8J2
|
3.2. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaknsanakan pada bulan Juli
2012 di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur di
Jalan Raya Karangploso Malang Jawa Timur.
3.3. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
cawan petri, kamera, nampan, peggaris,
germinator, pinset, gunting, dan spayer. Sedangkan bahan yang digunakan adalah
mentimun tua, air, dan kertas merang.
3.4. Cara Kerja
Adapun cara kerja yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1.
Ekstraksi
benih. Ekstraksi benih merupakan kegiatan memisahkan benih dari bagian lain
dari benih yang tidak dibutukan.
Ekstraksi benih yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi
basah dengan cara merendam benih
mentimun yang masih berlendir menggunakan air dalam kantog plastik selama 24
jam kemudian dicuci sampai bersih.
2.
Dikeringkan
benih mentimun sesuai dengan faktor penelitian.
3.
Pengujian viabilitas benih
3.5. Pnegujian Viabilitas Benih
3.5.1. Daya Kecambah
Pada
Uji Daya Kecambah secara langsung dengan substrat kertas merang.
a)
Menyiapkan 3 lembar kertas merang dengan ukuran
sesuai cawan diletakkan di atas cawan kemudian dibasahi dengan air.
b)
Menyemai 25 benih dari setiap perlakuan diatas
kertas merang dengan 3 kali ulangan
Pengamatan dilakukan pada hari ke 8 dengan
menghitung kecambah normal, abnormal, dan mati. Penghitungan daya berkecambah menggunakan
rumus sebagai berikut (Sutopo, 2002) :
3.5.2. Keserempakan berkecambah
Keserempakan berkecambah dihitung dengan hasil
nilai dari presentasi kecambah normal kuat. Keserempakan berkecambah dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Mugnisjah, 1994):
3.5.3. Waktu Berkecambah
Laju
kecambah dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk
munculnya radikel atau plumulae (Sutopo, 2004):
Keterangan :
N : jumlah benih yang berkecambah pada satuan
waktu tertentu.
T: menunjukkan jumlah waktu antara awal
pengujian sampai dengan akhir dari interval tertentu suatu pengamatan .
3.5.3. Panjang Kecambah
Pengukuran panjang kecambah dapat dilakukan
dengan mengukur dari akar hingga daun menggunakan penggaris.
3.6. Analisisi Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan
analisis variansi (ANNOVA). Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka
dilanjutkan dengan Uji Duncan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Cara Pengeringan terhadap
Viabilitas Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)
Berdasarkan hasil analisis of varians pada
perlakuan cara pengeringan pada
tabel 4.1. menunjukkan bahwa Signifikansi > 0.05, pada
semua parameter pengamatan yang berarti tidak ada
pengaruh cara pengeringan (kering angin dan panas matahari) terhadap viabilitas
benih mentimun baik
pada paramater daya berkecambah, keserempakan berkecambah, panjang
berkecambah maupun pada panjang
kecambah.
Tabel 4.1. Hasil Analisis
of Varians
|
Daya berkecambah
|
Keserempakan berkecambah
|
Waktu berkecambah
|
Panjang kecambah
|
|
sig
|
sig
|
sig
|
Sig
|
Cara pengeringan (J)
|
.574
|
.715
|
.762
|
.709
|
Lama pengeringan (J)
|
.000*
|
.000*
|
.000*
|
.000*
|
J*V
|
.612
|
.867
|
.982
|
.994
|
Keterangan
: tanda * menunjukkan perlakuan berbeda nyata pada taraf 5%
Tidak adanya perbedaan cara pengeringan kering
angin dan panas matahari pada benih ini dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhinya seperti cuaca harian yang meliputi intensitas
cahaya dan kecepatan angin pada saat perlakuan setiap harinya tidak sama. Prayitna (1984), menjelaskan bahwa kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh
tingginya temperatur udara panas, kelembaban nisbi udara luar, kecepatan dan
banyaknya udara yang dialirkan melalui masa biji yang dikeringkan serta
tersedianya air pada permukaan biji yang dapat diuapkan.
Faktor pengeringan yang berupa tingginya
temperatur udara panas, kelembaban nisbi udara luar, kecepatan dan banyaknya
udara yang dialirkan merupakan kondisi cuaca harian. Cuaca harian pada saat perlakuan pengeringan
memiliki kondisi yang berbeda – beda. Data cuaca harian pada saat perlakuan pengeringan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.2. Data Cuaca Harian Tanggal 17-23 Juli 2012.
Tanggal
|
Intensitas cahaya
(%)
|
Kecepatan angin (km/jam)
|
17
|
99
|
5.4
|
18
|
0
|
3.6
|
19
|
0
|
3.6
|
20
|
35
|
3.6
|
21
|
0
|
1.8
|
22
|
0
|
7.2
|
23
|
81
|
1.8
|
Data cuaca harian BMKG Malang pada bulan Juli 2012.
Dari data cuaca harian di atas menunjukkan
bahwa intesitas cahaya pada awal
perlakuan pengeringan panas matahari adalah
99 % kemudian pada hari ke dua dan ketiga adalah 0 % dan naik lagi 35 % kemudian 2 hari
berikutnya 0 % dan naik lagi mejadi 81 %. Sedangkan pada kecepatan angin pada
saat perlakuan pengeringan dengan cara kering angin menunjukkan kondisi yang
hampir sama pada hari pertama hingga hari keempat, kemudiann kecepatan angin
menurun sampai 1.8 km/jam dan hari berikutnya naik drastis dengan kecepatan 7.2 km/jam dan turun lagi
seperti hari berikutnya.
Cuaca harian yang tidak menentu ini berpengaruh
terhadap kondisi benih mentimun karena benih yang dikeringkan dengan cara panas
matahari yang mempunyai intensitas cahaya seperti pada saat perlakuan akan
mempunyai kondisi yang hampir sama dengan perlakuan pengeringan kering angin.
Pada perlakuan pengeringan panas matahari, benih mendapatkan
intensitas cahaya yang relatif tinggi kemudian hari selanjutnya intensitas
cahayanya rendah sedangkan pada perlakuan kering angin kecepatan angin relatif
konstan sehingga kondisi benih diperkirakan mempunyai kadar air yang hampir
sama.
Kadar air merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap viabilitas benih. Kadar air benih yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya penurunan viabilitas benih, begitu juga sebaliknya kadar air benih
terlalu rendah 3%-5% dapat menyebabkan penurunan laju perkecambahan benih, benih menjadi keras,
sehingga pada waktu di kecambahkan benih tidak dapat berimbibisi dan dapat
menyebabkan kematian embrio (Kuswanto, 1996).
Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan
kadar air benih. Menurut Hardini (1985), kadar air benih sangat mempengaruhi
sifat kerusakan mekanis benih. Makin tinggi kadar air benih condong untuk memar
dan makin rendah kadar air benih condong untuk retak. Sudarsono (1977) dalam Hermawan (1999) menambahkan bahwa
lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi
hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan benih yang terlalu cepat
menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit benih berkerut dan bahkan
retak.
Perlakuan pengeringan berpengaruh terhadap
kondisi fisik benih. apabila kondisi fisik benih terlalu kering maka benih akan
sulit untuk mengimbibisi air sehingga perkecambahan dapat terganggu. Karena
dalam proses perkecambahan, imbibisi merupakan tahap awal dari proses
perkecambahan. Menurut Kamil (1979), proses perkecambahan melalui beberapa
tahap yaitu :
(1) penyerapan air, proses penyerapan air merupakan proses pertama kali terjadi pada perkecambahan suatu biji yang diikuti
oleh pelunakan kulit biji dan pengembangan.
(2) pencernaan, pada proses pencernaan terjadi pemecahan zat atau atau senyawa
bermolekul besar, komplek menjadi senyawa bermolekul lebih kecil, kurang komplek,
larut dalam air dan dapat diangkut melalui membran dan dinding sel. (3)
pengangkutan makanan, cadangan makanan yang telah dicerna dengan
hasilnya asam amino, asam lemak dan gula diangkut dari daerah jaringan penyimpanan
makanan ke daerah yang membutuhkan yaitu titik-titik tumbuh. (4) Asimilasi,
asimilasi merupakan tahap terakhir dalam penggunaan cadangan makanan
dan merupakan suatu proses pembangunan kembali. Pada proses asimilasi
protein yang telah dirombak oleh enzim protease menjadi asam amino dan
diangkut ke titik-titik tumbuh dan disusun kembali menjadi protein baru. (5) Pernapasan,
pernapasan pada perkecambahan biji sama halnya dengan pernapasan biasa yang
terjadi pada bagian tumbuhan lainnya, yaitu proses perombakan sebagian cadangan
makanan menjadi senyawa labih sederhana seperti CO2 dan H2O. (6) Pertumbuhan,
penggembungan biji yang disebabkan penyerapan air dan pertumbuhan segera
diikuti oleh pecahnya kulit biji. Suplai air yang cukup, makanan
sudah dicerna dan suplai oksigen untuk pernapasan maka embrio akan tumbuh
dengan cepat. Pertumbuhan ini adalah suatu proses yang memerlukan energi,
dan energi ini berasal dari pernapasan.
Perkecambahan
pada benih mentimun termasuk perkecambahn tipe epigeal, dimana pada saat
pengamatan terlihat bahwa munculnya radikel diiukti dengan memanjangnya
hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon ke atas permukaan.
Pengukuran parameter perkecambahan dilakukan pada ahir pengamtan yaitu 8 HST
(Hari Setelah Tanam). Pengukuran
parameter daya berkecambah dihitung dengan membagi jumlah kecambah normal yang
tumbuh di bagi dengan jumlah biji yang dikecambahkan dikalikan 100%. Sedangkan
pada parameter keserempakan berkecambah diukur dengan menghitung jumlah
kecambah normal kuat dibagi dengan jumlah biji yang dikecambahkan dikalikan
100%. Sedangkan untuk parameter panjang kecambah dapat diukur dengan menghitung
panjang kecambah dari ujung akar sampai hipokotil.
4.2. Pengaruh Lama Pengeringan terhadap Viabilitas Benih Mentimun
Berdasarkan hasil analisis of varian
(ANNOVA) menunjukkan bahwa pada
perlakuan lama pengeringan mempunyai signifikansi
< 0.05 (lampiran 2) pada semua parameter pegamatan yang berarti bahwa
terdapat pengaruh perlakuan lama
pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun baik pada daya kecambah,
keserempakan berkecambah, waktu berkecambah maupun pada panjang kecambah. Dari hasil analisis
tersebut maka perlu di uji lanjut dengan uji duncan yang dapat dilihat pada
tabel 4.3.
Tabel 4.3. Pengaruh Perlakuan Lama Pengeringan
terhadap Viabilitas Benih Mentimun (Cucumis
sativus L.)
Lama Pengeringan (hari)
|
Rata-rata Daya Berkecambah (%)
|
Rata-rata Keserempakan Berkecambah (%)
|
Waktu Berkecambah
(hari)
|
Panjang kecambah (cm)
|
0
|
1.33 a
|
1.33 a
|
7.33 b
|
5.50
a
|
1
|
22.00 b
|
19.33 bc
|
6.32 a
|
21.85 b
|
2
|
28.67 bcd
|
21.33 bc
|
6.22 a
|
20.96 b
|
3
|
24.00 bc
|
18.00 b
|
6.24 a
|
21.90 b
|
4
|
26.00 bcd
|
18.00 b
|
6.23 a
|
20.40 b
|
5
|
37.33 d
|
35.33 d
|
6.06 a
|
23.80 b
|
6
|
36.00 cd
|
30.67 cd
|
6.12 a
|
21.35 b
|
7
|
37.33 d
|
27.67 abc
|
6.14 a
|
22.55 b
|
Keterangan : Angka yang
diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji duncan.
Pada tabel 4.3
terlihat bahwa pada perlakuan lama pengeringan selama 5 hari menunjukkan nilai yang baik dan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan
pengeringan selama 6 hari pada semua parameter. Pada parameter rata-rata
presentase daya berkecambah, pengeringan selama 5 hari menunjukkan hasil
yang tinggi yaitu 37.33 %. Namun hasil analisis menujukkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan
pengeringan selama 6 hari dan 7 hari. Pada parameter keserempakan berkecambah mempunyai nilai
tertinggi yang sama dengan presentase daya berkecambah yaitu sebesar 35.33%.
Sedangkan pada parameter waktu berkecambah dan panjang kecambah yang paling
baik adalah pada perlakuan pengeringan
selama 5 hari dan menunjukkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengeringan
selama 1,2,3,4,6, dan 7 hari. Waktu berkecambah yang paling cepat adalah selama
6.06 hari dan panjang kecambah dengan nilai tertinggi 24.44 cm. Nilai terendah
pada semua parameter pengamatan adalah pada perlakuan tanpa pengeringan atau
kontrol (setelah ekstraksi langsung disemai), yaitu 1.33% untuk parameter daya
berkecambah dan persentase keserempakan berkecambah. Sedangkan waktu
berkecambahnya paling lama yaitu 7.33 hari dan panjang kecambah 5.50 cm.
Daya berkecamabah mentimun
dari hasil penelitian dapat dikatakan rendah, karena daya berkecambah dibawah 50 % sedangkan
mutu benih dapat dikatakan bagus apabila mempunyai daya berkecambah di atas 80%.
Rendahnya viabilitas benih mentimun ini dimungkinkan karena besarnya kadar air yang
kurang tepat untuk
perkecambahan. Menurut Wirawan (2002), benih akan mampu berkecambah apabila
dapat mengimbibisi air pada tingkat
33-66%. Besarnya kadar air dapat dipengaruhi oleh
kondisi buah saat dipanen dan pada saat proses pengeringan. Tingkat
kemasakan buah untuk produksi benih yang
baik adalah pada saat masak fisiologis, karena pada saat ini benih berada dalam
kondisi optimal. Kadar air benih saat masak fisiologis berkisar antara 25 % - 30%. Menurut Sutopo (2004),
benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak
mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang
demikian tidak akan dapat berkecambah. Nurlovi (2004) dalam Murniati
(2008) menambahkan bahwa masak fisiologis benih dicapai pada saat kulit buah 90
– 100 % berwarna kunig. Namun untuk memperoleh benih yang masak fisiologis dari
buah yang matang di pohon mengalami berbagai kendala , antara lain gangguan hama,
deraan cuaca, resiko buah terjatuh dari pohon, dan rawan pencurian.
Proses pengeringan merupakan salah satu proses yang sangat perlu diperhatikan untuk
memperoleh benih dengan kadar air yang optimum. Dalam proses pengeringan benih dapat diengaruhi oleh
berbagai faktor. Prayitna (1984) menjelaskan bahwa kecepatan proses pengeringan
dipengaruhi oleh tingginya temperatur udara panas, kelembaban nisbi udara luar, kecepatan dan banyaknya udara yang dialirkan
melalui masa biji yang dikeringkan serta tersedianya air pada permukaan biji
yang dapat diuapkan.
Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air benih.
Menurut Hardini
(1985), kadar air benih sangat mempengaruhi sifat kerusakan mekanis benih.
Makin tinggi kadar air benih condong untuk memar dan makin rendah kadar air
benih condong untuk retak. Sudarsono (1977) dalam Hermawan
(1999) menambahkan bahwa lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan
karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan
benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit benih
berkerut dan bahkan retak.
Presentase keserempakan berkecambah hasil uji lanjut
duncan menunjukkan yang tinggi
nilainya adalah 35.33%. Keserempakan
berkecambah merupakan salah satu variebel pengamatan dalam viablitas benih yang dilakukan pada hari ahir
pengamatan berdasarkan jumlah kecambah normal kuat di bagi dengan jumlah biji
yang dikecambahkan. Kriteria
kecambah menurut Hartati
(1993) dibedakan (a) kecambah
normal
kuat mempunyi akar primer tumbuh panjang dan ada akar sekunder, panjang hipokotil minimum empat kali panjang
kotiledon dan tumbuh baik tanpa ada kerusakan serta kotiledon ada dua buah. (b)
kecambah normal lemah, akarnya tumbuh panjang dan ada atau tidak ada akar
sekunder. Tidak ada akar primer tetapi ada akar sekunder dan tumbuh kuat.
Panjang hipokotil minimum empat kali panjang kotiledon dan tumbuh baik, ada
kerusakan tetapi tidak sampaii
kejaringan pengangkut serta kotiledon ada dua buah atau hanya satu dan tidak
boleh ada kerusakan melebihi 50%. (c) kecambah abnormal, tidak mempunyai akar
primer atau akar primer pendek tanpa ada akar sekunder. Hipokotil membengkak dan pendek atau hipokotil cacat, pendek dan
membengkak atau hipokotil bercelah dalam dalam atau luka-luka kecil serta
kotiledon keduanya busuk, rusak atau luka-luka kecil.
Hasil penelitian dengan parameter keserempakan
berekcambah benih mentimun ini masih tergolong rendah. Rendahnya keserempakan berkecambah ini mungkin dapat
disebabkan oleh kondisi fisik benih yang kurang baik. dimungkinkan
kulit biji rusak pada saat proses pengeringan
yang menyebabkan embrio rusak sehingga benih sulit mengimbibisi air. Menurut
Suhardi (1990), pada proses pengeringan
awal yang dilakukan pada suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case
hardening yaitu bagian luar (permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian
dalamnya masih basah. Agrawal et al., (1998) dalam Arif (2009)
menambahkan bahwa pengeringan secara alami dengan menggunakan sumber energy
matahari dapat berdampak pada penurunan mutu akibat terpapar pada fluktuasi
suhu ekstrim dan curah hujan.
Kulit benih yang terlalu kering akan sulit
untuk berkecambah karena proses imbibisi air terhambat. Sedangkan proses
imbibisi air merupakan tahap awal dari proses perkecambahan. Menurut Pranoto
(1990), fungsi air ialah untuk melunakkan kulit benih sehingga embrio dan
endosperma membengkak yang menyebabkan retaknya kulit benih, memungkinkan
pertukaran gas sehingga suplai oksigen ke dalam benih terpenuhi, mengencerkan
protoplasma sehingga terjadi proses-proses metabolisme di dalam benih dan
mentranslokasikan cadangan makanan ke titik tumbuh yang memerlukan.
Perkecambahan yang kurang serempak dapat juga
disebabkan oleh tingkat kemasakan buah yang tidak sama sehingga vigor benih
menjadi rendah. Vigor benih yang rendah dikarenakan oleh cadangan makanan
yang ditimbun oleh benih belum maksimum. Menurut Copeland Mc Donald (2001),
benih yang masak fisiologis telah
mempunyai cadangan makanan sempurna sehingga dapat menunjang pertumbuhan
kecambah. Tingkat kemasakan benih dapat dicirikan dari tingkat kemasakan buahnya.
Perkecambahan merupakan
salah satu proses pertumbuhan dari biji menjadi tanaman melalui berbagai proses
pengaktivan cadangan makanan didalam biji tersebut sehingga membutuhkan waktu
yang berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman. Waktu yang dibutukan untuk proses
perkecambahan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda nyata anatara
yang dikeringkan dengan yang tidak dikeringkan (setelah ekstraksi langsung
disemai). Waktu yang dibutuhkan untuk benih dapat berkecambah dipengaruhi juga
oleh kondisi dari benih itu sendiri. Benih yang terlalu kering akan sulit untuk
mengimbibisi air sehingga waktu yang diperlukan untuk berkecambah akan lebih
lama. Menurut Wirawan (2002), benih akan mampu berkecambah jika mengimbibisi
air pada tingkat kadar air sebesar 33 - 66%. Pada hasil penelitian menunjukkan
bahwa benih yang langsung disemai memerlukan waktu berkecambah yang paling lama
yaitu 7.33 hari. Hal ini disebabkan karena kadar air yang masih tinggi pada
benih tersebut.
Hasil uji lanjut pada parameter panjang
kecambah menunjukkan bahwa perlakuan lama pengeringan selama 5 hari mempunyai
nilai yang tertinggi yaitu 23.80 cm. namun hasil in tidak berbeda nyata dengan
pengeringan selama 1, 2,
3,4,6, dan 7 hari. Tapi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pengeringan yang
mempunyai nilai terendah yaitu 5.50 cm..
Panjang kecambah yang berbeda ini disebabkan
karena perbedaan lamanya proses pengeringan yang tidak konstan serta suhu
harian yang tidak menentu. Menurut Agrawal et all (1998) dalam
Arif (2009), pengeringan secara alami dengan menggunakan sumber energi sinar
matahari dapat berdampak pada penurunan mutu akibat terpapar pada fluktuasi
suhu ekstrim dan curah hujan. Menurut Justice dan Bass dalam Sutopo
(2002), syarat pengeringan adalah evaporasi uap air dari permukaan benih harus
diikuti oleh perpindahan uap air dari bagian dalam ke permukaan benihnya.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan, antara lain (1)
kondisi benih yang akan dikeringkan, (2) tebal tipisnya timbunan benih, (3)
temperatur udara, (4) kelembabab nisbi udara dan (5) aliran udara. Sudarsono
(1977) menambahkan bahwa lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan
karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan
benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit benih
berkerut dan bahkan retak.
Faktor
yang menyebabkan perbedaan panjang kecambah selain dari faktor
pengeringan,
dapat juga disebabkan oleh tingkat
kemasakan buah saat panen. Menurut Yupsi (1985) dalam hasil penelitiannya
mengemukakan bahwa buah mentimun yang dipanen 20 hari setelah berbunga menghasilkan
benih yang bila ditanam memiliki hipokotil dan akar yang lebih pendek yaitu
5.41 dan 6.49 cm, jika dibandingkan dengan buah yang dipanen 30 hari setelah
berbunga. Hal ini disebabkan karena cadangan makanan benih yang tersimpan pada
kotiledon belum terisi dengan sempurna atau benih masak yaitu berasal dari buah
yang dipanen 30 hari setelah berbunga, hipokotil dan akar tumbuh baik dan
panjang sebesar 9.64 cm dan 8.50 cm.
4.3. Pengaruh Cara Pengeringan dan Lama Pengeringan
terhadap Viabilitas Benih Mentimun (Cucumis
sativus L.)
Hasil analisis of varians
pengaruh proses dan lama pengeringan menunjukkan bahwa signifikansi > 0.05
yang berarti tidak ada pengaruh terhadap interaksi perlakuan. Namun untuk
mengetahui hasil yang terbaik pada semua perlakuan tersebut dapat dilihat
diagram berikut.
4.3.1. Diagram Daya
Berkecambah
4.3.2. Diagram
Keserempakan Berkecambah
4.3.3. Diagram Waktu Berkecambah
4.3.4. Diagram Panjang Kecambah
Dari gambar diagram di
atas dapat dilihat bawa pada parameter
daya berkecambah yang tertinggi adalah pada perlakuan pengeringan panas
matahari selama 7 hari yaitu 40% sedangkan yang terendah adalah pada perlakuan
tanpa pengeringan sebesar 1.33%. Untuk parameter keserempakan berkecambah hasil
yang terbaik adalah pada perlakuan kering matahari selama 5 hari sebesar 37.33%
sedangkan hasil yang terendah adalah 1.33% pada perlakuan tanpa pengeringan.
Untuk paramater waktu berkcambah menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan panas
matahari selama 5 hari paling cepat berkecambah yaitu 5.25 hari dan yang
membutuhkan waktu paling lama berkecambah adalah tanpa pengeringan yaitu 7
hari. Pada diagram panjang berkecambah menunjukkan bahwa kecambah yang paling
panjang pada perlakuan pengeringan kering angin selama 5 hari yaitu 24.2 cm,
sedangkan kecambah yang paling pendek adalah pada perlakuan tanpa pengeringan
yaitu 4.1 cm.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari
hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1.
Tidak ada pengaruh perbedaan cara pengeringan (kering
angin dan panas matahari) terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis
sativus L.)
2.
Ada pengaruh lama pengeringan
terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.). dari
hasil peneltian yang mempunyai nilai baik yaitu pada perlakuan pengeringan
selama lima hari. Pada parameter daya berkecambah 37.33%. Keserempakan
berkecambah 35.33%. Waktu berkecambah 6.06 hari dan panjang kecambah 23.80 cm.
5.2. Saran
Dari hasil penelitian disarankan untuk
penelitian selanjutnya menggunakan benih
mentimun dengan tingkat kemasakan fisiologis yang sama serta paparan
pengeringan yang konstan setiap harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Z. 1987. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman.
Bandung : PT. Angkasa
Arief, R. 2009. Mutu Benih
Jagung Pada Berbagai Cara Pengeringan. Balai penelitian tanaman
Serealia.ISBN : 978-979-8940-27-9
Copeland, L.O. 1976. Seed Science and Technology. USA :
Burgess Publ.Co. Minneaplis, p.369
Copeland, L.O., M.B.
McDonald.2001. Principles of Seed Science
and Tecnhnology. 4th edition. London : Kluwer Academic
Publishers. 425p.
Hardini, H. 1985. Kumpulan
Makalah Latihan Pengendalian Pengolahan Benih. Jakarta : Dirjen Pertnian
Tanaman Pangan
Hartati, S. 1993. Teknik Pengujian Mutu Benih Tanaman Kenaf,
Rosela dan Yute. Malang : Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat.
Hermawan, E. 1999. Pemanfaatan
Energi Surya dalam Pengeringan Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)
Hidayat, G.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji.
Bandung : ITB
Kamil, J. 1979. Teknologi Benih. Padang : Angkasa Raya
Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi Produksi dan
Sertifikasi Benih. Yogyakarta : Penerbit Andi
Loveless, A.R. 1989. Principles of Plant Biology for the Tropics. Terjemahan
Kuswata Kartawinata, Sarkat Danimiharja dan Usep Soerisna. Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama
Mugnisjah, W.Q. dkk. 1994.
Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang
Ilmu dan Teknologi Benih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Muttaqin, Z. 2010. Pengaruh
Pupuk Kandang dengan Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Mentimun (Cucumis sativus L.)
Prayitna, A.S. 1984. Pengeringan dan Pengolahan Benih Padi,
Jagung dan Kacang-Kacangan. Sukamandi : Direktorat Jenderal Pertanian
Tanaman Pangan
Rukmana, R. 1994. Budidaya Mentimun.
Yogyakarta : Kanisius
Sadjad. 1980. Panduan Mutu
Benih Tanaman Kehutanan di Indonesia. Bogor :IPB
Sa’diyah, H. 2009. Pengaruh
Invigorasi menggunakan Poly Etilen Glikol (PEG) 6000 terhadap Viabilitas Benih
Rosela (Hibiscus dabdariffa).
Sudarsono.1977. Masalah Pengeringan Benih. Hal.197-216. Dalam Sadjad (ed). Dasar-Dasar Teknologi
Benih. Capita Selekta. Bogor : IPB
Suhardi, T. 1990. Prospek
Pengembangan Industri Pengeringan Hasil Pertanian. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian .
Sumpena. 2006. Respon
Hasil,Viabilitas dan Vigor Benih Mentimun (Cucumis sativus L.) Kultivar
Saturnus terhadap Perlakuan Atonik.J.Agrivigor 5 (3) : 287-292
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Widhi, A. 2000. Pengaruh
Pemberian Triacontanol terhadap Produksi dan Viabilitas Benih Ketimun (Cucumis
Sativus L.) vol 28 (3) 85-90 (2000).
Wirawan, B. Dan Wahyuni,
S. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Yupsi.1986. Pengaruh Cara
pembersihan Lendir, Pengeringan Benih dan Tingkat Kemasakan Benih Ketimun
(Cucumis sativus L.) Karya Ilmiah. Bogor : IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar