Senin, 28 Januari 2013



PENGARUH PROSES DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH MENTIMUN (Cucumus sativus L.)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman  merupakan  salah satu satu bukti bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang karena melalui tanaman tersebut makhluk hidup dapat mencukupi kebutuhannya. Dalam Al-qur’an disebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah, sehingga apa yang telah diciptakannya patut disyukuri dan dipelajari. Allah berfirman dalam Qs.Asy-Syu’araa’ ayat & yang berbunyi :
öNs9urr& (#÷rttƒ n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOƒÍx. ÇÐÈ  
artinya :  dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu perlabagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
Ayat di atas menjelaskan Allah maha Kuasa untuk menumbuhkan segala macam tumbuhan. Selain itu, ayat di atas secara tidak langsung Allah memerintahkan kepada manusia yang diberi akal untuk meneliti dan mengkaji segala sesuatu yang ada di bumi termasuk dalam pertumbuhan tanaman.
Mentimun (Cucumis sativus L.) suku labu-labuan atau Curcubitaceae merupakan tanaman sayuran yang dipanen pada saat buah masih muda. Mentimun dapat dibudidayakan di daerah luas baik di ladang, halaman rumah maupun di rumah kaca. Menurut Savitri (2008), tanaman mentimun tumbuh baik di dataran rendah sampai 1.300 dpl. Tanaman ini diduga berasal dari daerah pegunungan Himalaya di India Utara.
Produksi mentimun memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan oleh para petani untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena semakin  meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk. Produksi mentimun di Indonesia masih sangat rendah. Menurut Warintek (2006) berdasarkan BPS 2006 luas panen mentimun di Sumatra Utara pada tahun 2005 sebesar 3.591 Ha dengan produksi sebesar 44.904 ton dan produksi rata-rata 125.06 Kw/Ha, padahal potensinya dapat mencapai 20 ton/Ha.
Dalam usaha peningkatan hasil produksi mentimun untuk memenuhi tingkat kebutuhan seiring laju pertumbuhan penduduk, para petani masih banyak mengalami kendala untuk memproduksi benih dikarenakan benih mentimun mempunyai viabilitas yang rendah.
Benih merupakan salah satu faktor produksi utama yang digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan hasil produksi tanaman. Untuk meningkatkan hasil produksi tersebut maka benih yang digunakan harus bermutu tinggi. Menurut ISTA (1980), benih bermutu tinggi adalah benih yang standart kualitasnya dinyatakan dengan daya kecambah minimum 80%, benih murni 98%.
Rendahnya viabilitas benih mentimun dapat diakibatkan oleh banyak faktor. Penanganan benih seperti ekstraksi dan pengeringan seringkali menimbulkan kerusakan mekanis pada benih sehingga viabilitas benih tersebut menurun. Menurut Hardini (1985),  kerusakan  mekanis  tertentu dapat langsung menyebabkan penurunan viabilitas dengan cepat, sedangkan secara tidak langsung mempengaruhi vigor dan viabilitas benih. Kerusakan tersebut dapat mempercepat proses penuaan atau membuka peluang bagi timbulnya serangan cendawan atau pusat infeksi bagi cendawan saprofit.
 Kemunduran benih atau turunnya mutu benih dapat diakibatkan oleh kondisi penyimpanan atau kesalahan dalam penangan benih. Kemunduran benih merupakan masalah yang cukup utama dalam pengembangan tanaman, khususnya tanaman mentimun. Kemunduran benih merupakan proses mundurnya mutu fisiologis benih baik secara fisik, fisiologis maupun biokimia yang mengakibatkan menurunya viabilitas benih (Rusmin, 2008).
Selain itu, kemunduran benih dapat disebabkan oleh kadar air benih. menurut Kuswanto (1996), kadar air benih yang tinggi dapat menyebabkan tejadinya penurunan viabilitas benih, begitu juga sebaliknya. Kadar air benih terlalu rendah 3%-5% dapat menyebabkan penurunan laju perkecambahan benih, benih menjadi keras , sehingga pada waktu dikecambahkan benih tidak dapat berimbibisi dan dapat menyebabkan kematian embrio. Hardini (1985), menambahkan bahwa pada saat pengolahan benih ,makin tinggi kadar air, benih condong untuk rusak dan  makin rendah kadar air, benih condong untuk retak.
Menurut Harrington dalam Justice and Bass (1987) menegenai pengeringan benih menyatakan bahwa setiap penurunan 1% kadar air benih dapat menggandakan masa simpan benih tanpa resiko kehilangan daya kecambahnya. Agrawal et al (1998) dalam Arif (2009), menjelaskan bahwa pengeringan secara alami dengan menggunakan sumber energy sinar matahari dapat berdampak pada penurunan mutu akibat terpapar pada fluktuasi suhu ekstrim dan curah hujan.
Alternatif lain yang untuk pengeringan untuk mengurangi kerusakan fisik, maka dapat dikeringkan dengan cara kering angin. Pengeringan benih yang dengan cara kering angin    kemungkinan dapat mengurangi kerusakan pada benih yang dapat  berdampak pada penurunan mutu fisiolgis benih karena adanya respirasi benih. Untuk itu perlu dilakuan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengeringan dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Apakah ada perbedaan cara pengeringan kering angin dan panas terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.)?
2.      Apakah ada pengaruh lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.)?
3.      Apakah ada pengaruh cara pengeringan (kering angin dan panas matahari) dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.)?

1.3. Tujuan
Adapaun Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui perbedaan cara pengeringan kering angin dan panas matahari terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
2.      Untuk mengetahui pengaruh lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
3.      Untuk mengetahui pengaruh cara pengeringan (kering angin dan panas matahari) dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).

1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1.      Ada peerbedaan cara pengeringan kering angin dan panas matahari terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
2.    Ada pengaruh lama pengeringan dengan cara panas matahari terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).
3.    Ada pengaruh cara pengeringan (kering angin dan panas matahari) dan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.).

1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.      Memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengetahui proses dan lama pengeringan yang tepat terhadap viabilitas benih mentimun.
2.      Sebagai informasi dasar untuk peneliti selanjutnya.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.   Botani Mentimun
Mentimun (Cucumis sativus L.) memiliki akar tunggang dan bulu-bulu akar tetapi daya tembusnya relatif dangkal, sekitar kedalaman 30-60 cm. Oleh karena itu, tanaman mentimun termasuk peka terhadap kekurangan dan kelebihan air (Rukmana, 1994).
Batang mentimun berupa batang lunak dan berair, berbentuk pipih, berambut halus, berbuku-buku, dan berwarna hijau segar. Batang utama dapat menumbuhkan cabang anakan. Ruas batang atau buku-buku batang berukuran 7―10 cm dan berdiameter 10―15 mm. Diameter cabang anakan lebih kecil dari batang utama. Pucuk batang aktif memanjang (Imdad dan Nawangsih, 2001).
Daun mentimun terdiri atas helaian daun (lamina), tangkai daun, dan ibu tulang daun. Helaian daun mempunyai bangun dasar bulat atau bangun ginjal, bagian ujung daun runcing berganda. Pangkal daun berlekuk, tepi daun bergerigi ganda. Daun mentimun dewasa mempunyai ukuran panjang dan lebar yang dapat mencapai 20 cm, berwarna hijau tua hingga hijau muda, permukaan daun berbuluhalus dan berkerut (Imdad dan Nawangsih, 2001).
Bunga mentimun berbentuk terompet dan berwarna kuning bila sudah mekar. Mentimun termasuk tanaman berumah satu, artinya bunga jantan dan betina letaknya terpisah, tetapi masih dalam satu tanaman. Bunga betina mempunyai bakal buah yang membengkak, terletak di bawah mahkota bunga, sedangkan pada bunga jantan tidak mempunyai bagian bakal buah yang membengkak (Sumpena, 2008).
Buah mentimun merupakan buah sejati tunggal, terjadi dari satu bunga yang terdiri satu bakal buah saja (Imdad dan Nawangsih, 2001). Buah berkedudukan menggantung dan dapat berbentuk bulat, kotak, lonjong atau memanjang dengan ukuran yang beragam. Jumlah dan ukuran duri atau kutil yang terserak pada ukuran buah beragam, biasanya lebih jelas terlihat pada buah muda. Warna kulit buah juga beragam dari hijau pucat hingga hijau sangat gelap, daging bagian dalam berwarna putih hingga putih kekuningan. Biji matang berbentuk pipih dan berwarna putih (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997) dalam Muttaqin (2010).

2.1.1.  Taksonomi Tanaman Mentimun
Menurut Sharma (2002) dalam Sofia (2007) tanaman mentimun diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
  Divisi: Spermatophyta
            Subdivisio: Angiospermae
                       Kelas: Dicotyledonae
                       Ordo: Cucurbitales
Famili: Cucurbitacea
Genus: Cucumis
                                                            Spesies:Cucumissativus L.

2.2. Benih
            Benih hasil perkembangbiakkan generatif, berdasarkan sifat fisiologisnya dapat dibedakan menjadi benih  orthodox dan benih  rekalsitral. Tetapi pada umumnya hanya benih kelompok benih  orthodox yang dapat diproses (dikeringkan) dan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama.  Setelah diproses, benih tidak selalu langsung digunakan, ada yang disimpan selama jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, penanganan benih harus dilakukan dengan kaida-kaidah ilmiah agar diperoleh benih yang berkualitas baik dan tahan lama. Dengan demikian, pada saat digunakan, kondisi benih masih memadai sebagai alat perkembangbiakkan, yakni memiliki  prosentase viabilitas, kevigoran, kemurnian dan kesehatan yang baik (Sadjad,1975).
Menurut Ance (2003), benih bermutu ialah benih yang telah dinyatakan sebagai benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. benih berkualits unggul memiliki daya tumbuh yang lebih dari 95% dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut : (a) memiliki viabilitas atau dapat mempetahankan kelangsungan pertumbuhannya menjadi tanaman yang baik (berkecambah , tumbuh dengan normal, merupakan tanaman yang menghasilkan benih yang matang). (b) Memiliki kemurnian (Tueness seeds), artinya terbebas dari kotoran, terbebas dari benih jenis tanaman lain, terbebas dari benih varietas lain dan terbebas pula dari biji herba serta hama dan penyakit.
Benih yang bermutu dapat diuji dengan daya kecambah. Daya kecambah dapat diartikan sebagai mekar dan berkembangnya bagian – bagian penting dari embrio, suatu benih yang menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh secara normal pada lingkungan yang sesuai. Dengan demikian pengujian daya tumbuh atau daya berkecambah benih ialah pengujian akan sejumlah benih, beberapa persentase dari jumlah benih tersebut yang dapat atau mampu berkecambah pada jangka waktu yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan kemampuan tumbuh secara normal yaitu dimana perkecambahan benih tersebut menunjukkan kemampuan untuk tumbuh yang baik dan normal (Ance, 2003) dalam Sa’diyah (2009).

2.2.1. Pengeringan Benih
Pengeringan merupakan suatu proses yang penting dalam pemeliharaan hasil dan mutu produksi pertanian pada umumnya dan produksi benih pada khususnya. Benih yang baru dipanen umumnya masih mempunyai kadar air yang cukup tinggi sehingga tidak baik untuk disimpan, karena akan cepat mengalami kemunduran (Sadjad, 1980). Agar dapat disimpan dengan aman maka benih perlu dikeringkan dahulu dengan cara pengeringan yang tepat.
Pengeringan terjadi apabila ada perpindahan uap air dari benih menuju udara sekitarnya, dan dari dalam benih menuju permukaan benih itu sendiri. Laju perpindahan uap air dari permukaan benih menuju udara disekitarnya dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan permukaan, kelembaban nisbi udara dan temperatur udara pengering (Feistritzer, 1975).
Johndon (1966) dalam Hermawan (1999) mengemukakan bahwa dalam pengeringan udara mempunyai dua fungsi, yatu sebagai mendium pemanas dan sebagai medium pembawa air proses pengeringan pada biji-bijian berlangsung karena perbedaan tekanan uap antara udara pengering dengan benih yang dikeringkan. Akibat pemanasan, suhu benih meningkat dan tekanan uap meningkat pula. Akibat perbedaan tekanan uap tersebut terjadi aliran uap air dari tekanan uap tinggi (benih) ke tekanan uap rendah (udara sekitar).
Lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sihingga kulit benih berkerut bahkan retak (Sudarsono, 1977). Menurut Suhardi (1990) pengeringan awal yang dilakukan pada suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case hardening yaitu bagian luar (permukaan) bahan sudah kering, sedangkan bagian dalamnya masih basah. Perubahan suhu secara mendadak ketika mengeringkan benih akan menyebabkan kerusakan hipokotil, sehingga bila benih dikecambahkan akan menghasilkan kecambah abnormal yang mencerminkan kerusakan kromosom di dalam inti sel (Suseno, 1974).
Pemberian energi panas pada suatu jenis bahan dalam proses pengeringan ternyata tidak hanya menurunkan kadar airnya saja tapi juga sangat berpengaruh terhadap mutu dari hasil keringnya. Pengaruh pengeringan yang umum ditemukan pada hasil pertanian yang dikeringkan adalah perubahan warna kecoklat-coklatan (browning) dan pengerasan permukaan bahan yang dikeringkan (case hardening). Perubahan warna ini terjadi karena adanya penguraian thermis dari suatu molekul yang kompleks menjadi struktur yang sederhana, reaksi ini biasanya terjadi pada suhu tinggi. Reaksi perubahan warna dipengaruhi dari bahan yang dikeringkan juga disebabkan terjadinya penurunan kadar air secara drastiS (Amir, 1992) dalam Hermawan (1999).

2.3.  Perkecambahan
2.3.1. PengertianPerkecambahanBiji
Menurut fisiologiwan benih, perkecambahan benih ialah muncul dan berkembangnya struktur penting dari embrio serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada keadaan alam yang menguntungkan (Pranoto, 1990).
Menurut Kamil (1979), menjelaskan perkecambahan adalah pengaktivan kembali  aktivitas pertumbuhan embrionik axis di dalam biji yang terhenti untuk kemudian membentuk bibit (seedling). Secara visual dan morfologis suatu biji yang berkecambah (germinate) umumnya ditandai dengan terlihatnya akar (radikel) atau daun (plumula) yang meninjol keluar dari biji.
2.3.2. Type Perkecambahan
Terdapat dua tipe pertumbuhan awal dari suatu kecambah tanaman, yaitu (Sutopo, 2002) :
1.    Tipe Epigeal (Epigeous) dimana munculnya radikel diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara kesuluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumulae ke atas permukaan tanah.
2.    Tipe hipogeal (Hypogeous), dimana munculnya  radikel diikui dengan pemanjangan plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah.
2.3.3. Faktor  yang  Mempengaruhi Perkecambahan

Menurut Copeland (1976), terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam antara lain tingkat kemasakan benih, ukuran benih dan adanya dormansi. Faktor luar  yaitu faktor lingkungan tumbuh yang meliputi air, suhu, cahaya, dan medium tumbuh.

1.      Faktor Internal
a.       Tigkat kematangan benih
Benih yang ditanam sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai daya tumbuh yang tinggi, kematangan benih perlu dipersiapkan untuk proses perkecambahan (Abidin, 1987).
b.      Ukuran benih
Menurut Sutopo (2004), benih yang berukuran besar dan berat mempunyai cadangan makanan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan benih yang berukuran kecil
c.       Dormansi
Dormansi adalah quiescence. Quiescence adalah  kondisi benih tidak berkecambah karena tidak tersedia lingkungan yang optimum  untuk perkecambahan (Wirawan, 2002).

2.      Faktor Eksternal
a.       Air
Dalam siklus hidup tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen, tanaman selalu membutuhkan air. Tidak satupun proses metabolisme tanaman dapat berlangsung tanpa air. Besarnya kebutuhan air steiap fase pertumbuhan selama siklus hidupnya tidak sama. Hal ini berhubungan langsung dengan proses fisiologis, morfologis dan kombinasi kedua faktor di atas denagan faktor-faktor lingkungan. Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui penyerapan oleh akar. Besarnya air yang diserap oleh akar tanaman sangat bergantung pada kadar air dalam tanah yang ditentukan oleh kemampuan partikel tanah menahan air dan kemampuan akar untuk menyerap (Jumin, 1992).  Menurut Pranoto (1990) air merupakan kebutuhan dasar yang utama untuk perkecambahan. Kebutuhan air berbeda-beda bergantung dari spesies tanaman. Beberapa benih dapat bertahan pada kondisi air yang berlebihan, di lain pihak ada jenis benih tertentu yang peka terhadap air.

Fungsi air ialah untuk (1) melunakkan kulit benih sehingga embrio dan endosperma membengkak yang menyebakan retaknya kulit benih, (2) memungkinkan pertukaran gas sehingga suplai oksigen ke dalam benih terjadi, (3) mengencerkan protoplasma sehingga terjadi proses-proses metabolisme di dalam benih, dan (4) menstranslokasikan dengan cadangan makanan ke titik tumbuh yang memerlukan (Pranoto, 1990). Loveless (1989) menambahkan bahwa secara fisik air berpengaruh pada kelakuan pada pelunakan biuji sehingga embrio mampu menembusnya. Sebagian besar air dalam protoplasma sel biji hilang pada waktu biji mengalami pemasakan sempurna dan lepas dari induknya, sejak iu hampir semua metabolisme sel berhenti sampai perkecambahan di mulai. Secara biokomia air mempengaruhi perkembangan sel dimana dengan air fungsi dari organel-organel akan akif kembali.

Air merupakan faktor terpenting dalam kehidupan tanaman. pentingnya air bagi tumbuhan juga disebutkan dalam al-qur’an. Allah berfirman dalam surat An-Nahl (16) ayat 11 :
àMÎ6/Zム/ä3s9 ÏmÎ/ tíö¨9$# šcqçG÷ƒ¨9$#ur Ÿ@ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍤6xÿtGtƒ ÇÊÊÈ    
Artinya : “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

Menurut Mahendra (2008), Hubungan air dan tumbuhan bersifat mutlak sebagaimana hubungan air dengan manusia dan hewan. Kemutlakan ini tampak dari ketergantungan tumbuhan akan air. Tumbuhan tidak bisa hidup tanpa air. Tampaknyaa Allah sengaja mendesain kehidupan ini sedemikian. Ada makhluk ciptan Nya yang berkedudukan primer, sekunder dan tersier.

b.      Suhu
Pengaruh suhu terhadap perkecambahan benih dapat dicerminkan melalui suhu kardinal, yaitu suhu minimum, optimum dan maksimum dimana perkecambahan dapat terjadi. Suhu minimum yaitu suhu terendah dimana perkecambahan dapat terjadi, suhu di bawah suhu tersebut tidak memungkinkan perkecambahan. Suhu optimum yaitu suhu dimana perkecambahan tertinggi dicapai pada periode terpendek. Suhu maksimum yaitu suhu tertinggi dimana perkecambahan dapat terjadi, di atas suhu tersebut tidak terjadi perkecambahan karena merupakan batas ambang kritis benih tidak hidup (Pranoto, 1990).

c.       Oksigen
Dalam perkecambahan O2 digunakan untuk respirasi. Konsentrasi oksigen yang diperlukan untuk perkecambahan adalah 20 %.

d.      Cahaya
Tidak semua benih memerlukan cahaya untuk tumbuhnya. Bagi benih yang memerlukan panjang penyinaran tertentu selama jangka waktu pengujian, maka baik cahaya alam atau buatan harus diatur dengan intensitas yang merata sedemikian rupa hingga panas yang timbul tidak mempengaruhi suhu yang telah ditetapkan. Cahaya harus diberikan selama 8 jam setiap 24 jam, sedanga pada benih yang memerlukan suhu berganti, penyinaran dilakukan pada suhu yang lebih tinggi (Direktorat Jendral Tanaman Panagan dan Hortikultura, 2000).

Menurut Pranoto (1990) pengaruh cahaya hanya terjadi pada benih yang lembab. Pada benih dengan kadar air rendah, pengaruh cahaya  relatif tidak ada terhadap perkecambahan. Hal ini disebabkan karena fitokrom, yaitu pigmen penyerap cahaya, tidak aktif pada benih berkadar air rendah.

2.3.4. Proses Perkecambahan
Perkecambahan biji dapat dibedakan atas dua macam proses, yaitu : (1) proses perkecambahan fisiologis, dan (2) proses perkecambahan morfologis.
1.      Proses Perkecambahan Fisiologis
Secara fisiologis, terjadi beberapa proses berurutan selama perkecambahan biji, yaitu :
a.       Penyerapan air. Penyerapan air atau imbibisi merupakan suatu fase yang disebut sebagai langkah awakening yang berhubungan dengan tiga peristiwa, yaitu penyerapan air secara cepat oleh lapisan bikoloid dari benih yang kering; reaktivasi dari makro molekul dan organel - organel; dan respirasi yang menghasilkan ATP untuk supplai energy (Pranoto, 1990).
b.      Perombakan Cadangan Makanan
Setelah masuknya air ke dalam benih terjadi reaktivasi enzim dan hormon, maka berlangsunglah proses perombakan di dalam jaringan cadangan makan (Pranoto,1990). Fungsi pokok enzim yang terdapat di dalam biji adalah untuk merubah pati dan hemiselulosa menjadi gula, lemak menjadi gliserin dan asam lemak, dan protein menjadi asam-asam amino (Kamil, 1979).
c.       Pengangkutan Makanan
Makanan cadangan yang telah dicerna dengan hasilnya asam amino, asam lemak, dan gula (glukosa), di angkut dari daerah jaringan penyimpanan makanan ke daerah yang membutuhkan, yaitu titik tumbuh pada embrionik axis, plumulae dan radikula (Kamil,1979).
d.      Asimilasi
Asimilasi merupakan tahap terahir dalam penggunaan cadangan makanan  dan  merupakan  suatu proses pembangunan kembali,  pada  proses asimilasi ini protein yang telah dirombak oleh enzim protease menjadi asam amino dan diangkut ketitik tumbuh disusun kembali menjadi protein baru. Protein baru ini kemudian dipergunakan untuk membentuk sel-sel baru terutama pembentukan protoplasma baru (Kamil, 1979).
e.       Pernafasan
Pernafasan pada proses perkecambahan akan menghasilkan energy. Energy hasil pernafasan ini akan dibebasakan namun sebagaian lagi dipakai biji untuk pembelahan sel dan penembusan kulit biji oleh radikel (Kamil,1979).
f.       Pertumbuhan
Proses pertumbuhan ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu pertumbuhan embrionik axis dan pemanjangan bibit.  Pertumbuhan embrionik  axis  terjadi karena dua buah peristiwa, yaitu pembesaran sel-sel yang sudah ada, pembentukan sel-sel baru pada titik tumbuh,  radikel, dan plumula (Kamil, 1979).

2.  Proses Perekcambahan Morfologis
                Secara morfologis sukar ditentukan dengan pasti kapan perkecambhan biji berahir dan pertumbuhan dimulai. Proses perkecambahan morfologis merupakan proses tahapan segera sesudah proses pengangkutan makanan dan pernapasan. Uraian disini masih meliputi pembelahan sel dan pemanjangan sel, akan tetapi lebih dikaitkan dengan pertumbuhan embrionic axis yang dapat dilihat atau diamati mata telanjang yaitu keluarnya radikel atau plumula dari kulit biji.pembelahan sel dan pemanjangan sel dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan penonjolan radikel ke luar kulit benih terutama disebabkan oleh pemanjangan sel. Sedangkan pembelahan sel hanya menyebabkan perbanyakan jumlah sel yang kemudian memanjang (Kamil,1979).

Gambar  2.1. Proses Perkecambahan


2.3.5. Kriteria Perkecambahan
                Menurut Mugnisjah (1994) kriteria perkecambahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Kecambah normal
Kecambah normal adalah kecambah yang menunjukkan potensi untuk berkembang lebih lanjut menjadi tanaman normal bila di tumbuhkan pada tanah yang berkualitas baik dan di bawah kondisi kelembaban, suhu, dan cahaya yang sesuai. Yang termasuk kategori  kecambah normal adalah kecambah utu atau lengkap, kecambah dengan sedikit kerusakan, dan kecambah dengan infeksi sekunder.
b.      Kecambah abnormal
Kecambah abnormal tidak menunjukkan adanya potensi untuk berkembanh menjadi tanaman normal jika ditumbuhkan pada tanah berkualitas baik dan di bawah kondisi kelembaban suhu dan cahaya yang sesuai bagi pertumbuhannya. Kecambah abnormal dapat diklasifikasikan menjadi : (1) kecambah rusak, yaitu kecambah dengan struktur pentingnya telah hilang atau sangat jelek dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi sehingga perkembangan kecambah yang seimbang tidak dapat diharapkan lagi. (2) kecambah yang tidak sempurna pembentukannya atau tak seimbang, yaitu kecambah dengan perkembangan yang lemah atau secara fisiologis mengalami gangguan atau apabila struktur peningnya tidak terbentuk atau tidak proporsional. (3) kecambah busuk, yaitu kecambah dengan struktur pentingnya terkena penyakit hingga parah atau membusuk sebagai akibat infeksi primer sehingga perkembangan menjadi tidak normal.
c.       Benih tidak berkecambah
Benih yang tidak berkecambah adalah benih yang hingga ahir periode pengujian tidak dapat berkecambah. Benih yang tidak berkecambah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) benih keras, yaitu benih yang hingga ahir periode pengujian tetap keras, sebab benih tersebut tidak menyerap air. (2) benih segar, yaitu benih yang tidak keras dan juga tidak berkecambah hingga ahir pengujian tetapi tetap bersih, mantap, dan tampaknya masih hidup. Sebagai salah satu bentuk dormansi fisiologi, benih demikian mampu menyerap air tetapi perkembangan selanjutnya terhambat atau terhalangi. (3) benih mati, yaitu benih yang pada ahir pengujian tidak berkecambah tetapi bukan sebagai benih keras meupun benih segar. Biasanya benih mati lunak, warnanya memudar,danseringkali bercendawan.



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1  . Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktorial dan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah cara pengeringan yang terdiri dua macam perlakuan. Faktor kedua adalah lama pengeringan yang terdiri dari 8 taraf perlakuan. Sehingga dalam penelitian ini didapatkan 16 kombinasi perlakuan.
Faktor I adalah cara pengeringan yang trdiri dari 2 macam, yaitu :
J1 = kering angin
J2 = panas matahari
Faktor II adalah lama pengeringan yang terdiri dari 8 taraf, yaitu :
L1 = 0 hari
L2 = 1 hari
L3 = 2 hari
L4 = 3 hari
L5 = 4 hari
L6 = 5 hari
L 7= 6 hari
L 8 =7 hari


Tabel 3.1.  Kombinasi Perlakuan Antara Cara Pengeringan dan Lama Pengeringan.
Lama pengeringa (L)

Cara pengeringan (J)
J1
J2
L0
L0J1
L0J2
L1
L1J1
L1J2
L2
L2J1
L2J2
L3
L3J1
L3J2
L4
L4J1
L4J2
L5
L5J1
L5J2
L6
L6J1
L6J2
L7
L7J1
L7J2
L8
L8J1
L8J2

3.2. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaknsanakan pada bulan Juli 2012 di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur di Jalan  Raya Karangploso Malang  Jawa Timur.

3.3. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah  cawan petri, kamera, nampan, peggaris, germinator, pinset, gunting, dan spayer. Sedangkan bahan yang digunakan adalah mentimun tua, air, dan kertas merang.



3.4.  Cara Kerja
Adapun cara kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1.      Ekstraksi benih. Ekstraksi benih merupakan kegiatan memisahkan benih dari bagian lain dari benih yang tidak dibutukan.  Ekstraksi benih yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi basah dengan  cara merendam benih mentimun yang masih berlendir menggunakan air dalam kantog plastik selama 24 jam kemudian dicuci sampai bersih.
2.      Dikeringkan benih mentimun sesuai dengan faktor penelitian.
3.      Pengujian viabilitas benih

3.5.  Pnegujian Viabilitas Benih
3.5.1.  Daya Kecambah
            Pada Uji Daya Kecambah secara langsung dengan substrat kertas merang.
a)      Menyiapkan 3 lembar kertas merang dengan ukuran sesuai cawan diletakkan di atas cawan kemudian dibasahi dengan air.
b)      Menyemai 25 benih dari setiap perlakuan diatas kertas merang dengan 3 kali ulangan
Pengamatan dilakukan pada hari ke 8 dengan menghitung kecambah normal, abnormal, dan mati. Penghitungan daya berkecambah menggunakan rumus sebagai berikut (Sutopo, 2002) :
3.5.2. Keserempakan berkecambah
                                 Keserempakan berkecambah dihitung dengan hasil nilai dari presentasi kecambah normal kuat. Keserempakan berkecambah dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Mugnisjah, 1994):




3.5.3.  Waktu Berkecambah
         Laju kecambah dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumulae (Sutopo, 2004):
Keterangan :
N : jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu.
T: menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai dengan akhir dari interval tertentu suatu pengamatan .

3.5.3. Panjang Kecambah
Pengukuran panjang kecambah dapat dilakukan dengan mengukur dari akar hingga daun menggunakan penggaris.
3.6. Analisisi Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis variansi (ANNOVA). Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Cara Pengeringan terhadap Viabilitas Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)
Berdasarkan hasil analisis of varians pada perlakuan cara pengeringan  pada tabel  4.1.  menunjukkan  bahwa  Signifikansi  > 0.05, pada semua parameter pengamatan yang berarti tidak ada pengaruh cara pengeringan (kering angin dan panas matahari) terhadap viabilitas benih mentimun baik pada paramater daya berkecambah, keserempakan berkecambah, panjang berkecambah  maupun  pada panjang  kecambah.

Tabel 4.1. Hasil Analisis of Varians

Daya berkecambah
Keserempakan berkecambah
Waktu berkecambah
Panjang kecambah

sig
sig
sig
Sig
Cara pengeringan (J)
.574
.715
.762
.709
Lama pengeringan (J)
.000*
.000*
.000*
.000*
J*V
.612
.867
.982
.994
Keterangan : tanda * menunjukkan perlakuan berbeda nyata pada taraf 5%

Tidak adanya perbedaan cara pengeringan kering angin dan panas matahari pada benih ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhinya seperti cuaca harian yang meliputi intensitas cahaya dan kecepatan angin pada saat perlakuan setiap harinya tidak sama. Prayitna (1984), menjelaskan bahwa kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh tingginya temperatur udara panas, kelembaban nisbi udara luar, kecepatan dan banyaknya udara yang dialirkan melalui masa biji yang dikeringkan serta tersedianya air pada permukaan biji yang dapat diuapkan.  
Faktor pengeringan yang berupa tingginya temperatur udara panas, kelembaban nisbi udara luar, kecepatan dan banyaknya udara yang dialirkan merupakan kondisi cuaca harian. Cuaca harian pada saat perlakuan pengeringan memiliki kondisi yang berbeda – beda. Data cuaca harian  pada saat perlakuan  pengeringan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel  4.2.  Data  Cuaca  Harian Tanggal 17-23 Juli 2012.
Tanggal
Intensitas cahaya
(%)
Kecepatan angin (km/jam)
17
99
5.4
18
0
3.6
19
0
3.6
20
35
3.6
21
0
1.8
22
0
7.2
23
81
1.8
Data cuaca harian BMKG Malang pada bulan Juli 2012.
Dari data cuaca harian di atas menunjukkan bahwa intesitas cahaya  pada awal perlakuan pengeringan panas matahari adalah  99 % kemudian pada hari ke dua dan ketiga adalah  0 % dan naik lagi 35 % kemudian 2 hari berikutnya 0 % dan naik lagi mejadi 81 %. Sedangkan pada kecepatan angin pada saat perlakuan pengeringan dengan cara kering angin menunjukkan kondisi yang hampir sama pada hari pertama hingga hari keempat, kemudiann kecepatan angin menurun sampai 1.8 km/jam dan hari berikutnya naik drastis dengan kecepatan 7.2 km/jam dan turun lagi seperti hari berikutnya.
Cuaca harian yang tidak menentu ini berpengaruh terhadap kondisi benih mentimun karena benih yang dikeringkan dengan cara panas matahari yang mempunyai intensitas cahaya seperti pada saat perlakuan akan mempunyai kondisi yang hampir sama dengan perlakuan pengeringan kering angin. Pada perlakuan pengeringan panas matahari, benih mendapatkan intensitas cahaya yang relatif tinggi kemudian hari selanjutnya intensitas cahayanya rendah sedangkan pada perlakuan kering angin kecepatan angin relatif konstan sehingga kondisi benih diperkirakan mempunyai kadar air yang hampir sama.
Kadar air merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap viabilitas benih. Kadar air benih yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas benih, begitu juga sebaliknya kadar air benih terlalu rendah 3%-5% dapat menyebabkan penurunan laju  perkecambahan benih, benih menjadi keras, sehingga pada waktu di kecambahkan benih tidak dapat berimbibisi dan dapat menyebabkan kematian embrio (Kuswanto, 1996).
Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air benih. Menurut Hardini (1985), kadar air benih sangat mempengaruhi sifat kerusakan mekanis benih. Makin tinggi kadar air benih condong untuk memar dan makin rendah kadar air benih condong untuk retak. Sudarsono (1977)  dalam Hermawan (1999) menambahkan bahwa lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit benih berkerut dan bahkan retak.
Perlakuan pengeringan berpengaruh terhadap kondisi fisik benih. apabila kondisi fisik benih terlalu kering maka benih akan sulit untuk mengimbibisi air sehingga perkecambahan dapat terganggu. Karena dalam proses perkecambahan, imbibisi merupakan tahap awal dari proses perkecambahan. Menurut Kamil (1979), proses perkecambahan melalui beberapa tahap  yaitu : (1) penyerapan air, proses penyerapan air merupakan proses pertama kali terjadi pada perkecambahan suatu biji yang diikuti oleh pelunakan kulit biji dan pengembangan. (2) pencernaan, pada proses pencernaan terjadi pemecahan zat atau atau senyawa bermolekul besar, komplek menjadi senyawa bermolekul lebih kecil, kurang komplek, larut dalam air dan dapat diangkut melalui membran dan dinding sel. (3) pengangkutan makanan, cadangan makanan yang telah dicerna dengan hasilnya asam amino, asam lemak dan gula diangkut dari daerah jaringan penyimpanan makanan ke daerah yang membutuhkan yaitu titik-titik tumbuh. (4) Asimilasi, asimilasi merupakan tahap terakhir dalam penggunaan cadangan makanan dan merupakan suatu proses pembangunan kembali. Pada proses asimilasi protein yang telah dirombak oleh enzim protease menjadi asam amino dan diangkut ke titik-titik tumbuh dan disusun kembali menjadi protein baru. (5) Pernapasan, pernapasan pada perkecambahan biji sama halnya dengan pernapasan biasa yang terjadi pada bagian tumbuhan lainnya, yaitu proses perombakan sebagian cadangan makanan menjadi senyawa labih sederhana seperti CO2 dan H2O. (6) Pertumbuhan, penggembungan biji yang disebabkan penyerapan air dan pertumbuhan segera diikuti oleh pecahnya kulit biji. Suplai air yang cukup, makanan sudah dicerna dan suplai oksigen untuk pernapasan maka embrio akan tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan ini adalah suatu proses yang memerlukan energi, dan energi ini berasal dari pernapasan.
Perkecambahan pada benih mentimun termasuk perkecambahn tipe epigeal, dimana pada saat pengamatan terlihat bahwa munculnya radikel diiukti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon ke atas permukaan. Pengukuran parameter perkecambahan dilakukan pada ahir pengamtan yaitu 8 HST (Hari Setelah Tanam). Pengukuran parameter daya berkecambah dihitung dengan membagi jumlah kecambah normal yang tumbuh di bagi dengan jumlah biji yang dikecambahkan dikalikan 100%. Sedangkan pada parameter keserempakan berkecambah diukur dengan menghitung jumlah kecambah normal kuat dibagi dengan jumlah biji yang dikecambahkan dikalikan 100%. Sedangkan untuk parameter panjang kecambah dapat diukur dengan menghitung panjang kecambah dari ujung akar sampai hipokotil.


4.2. Pengaruh Lama Pengeringan terhadap Viabilitas Benih Mentimun
Berdasarkan hasil analisis of varian (ANNOVA)  menunjukkan bahwa pada perlakuan lama pengeringan mempunyai signifikansi  < 0.05 (lampiran 2) pada semua parameter pegamatan yang berarti bahwa terdapat pengaruh  perlakuan lama pengeringan terhadap viabilitas benih mentimun baik pada daya kecambah, keserempakan berkecambah, waktu berkecambah maupun pada  panjang kecambah. Dari hasil analisis tersebut maka perlu di uji lanjut dengan uji duncan yang dapat dilihat pada tabel 4.3.
 Tabel 4.3. Pengaruh Perlakuan Lama Pengeringan terhadap Viabilitas Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)
Lama Pengeringan (hari)
Rata-rata Daya Berkecambah (%)
Rata-rata Keserempakan Berkecambah (%)
Waktu Berkecambah
(hari)
Panjang kecambah (cm)
0
  1.33  a
  1.33  a
7.33  b
  5.50  a
1
22.00  b
19.33  bc
6.32  a
21.85  b
2
28.67  bcd
21.33  bc
6.22  a
20.96  b
3
24.00  bc  
18.00  b
 6.24 a
21.90  b
4
26.00  bcd
18.00  b
6.23  a
20.40  b
5
37.33  d
35.33  d
6.06  a
23.80  b
6
36.00  cd
30.67  cd
6.12  a
21.35  b
7
37.33  d
27.67  abc
6.14  a
22.55  b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf  yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan.


Pada tabel  4.3  terlihat bahwa pada perlakuan lama pengeringan selama  5 hari menunjukkan nilai yang baik dan tidak berbeda  nyata dengan perlakuan pengeringan selama 6 hari pada semua parameter. Pada parameter  rata-rata  presentase daya berkecambah, pengeringan selama 5 hari menunjukkan hasil yang tinggi yaitu 37.33 %. Namun hasil analisis menujukkan  tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengeringan selama 6 hari dan 7 hari. Pada parameter  keserempakan berkecambah mempunyai nilai tertinggi yang sama dengan presentase daya berkecambah yaitu sebesar 35.33%. Sedangkan pada parameter waktu berkecambah dan panjang kecambah yang paling baik adalah  pada perlakuan pengeringan selama 5 hari dan menunjukkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengeringan selama 1,2,3,4,6, dan 7 hari. Waktu berkecambah yang paling cepat adalah selama 6.06 hari dan panjang kecambah dengan nilai tertinggi 24.44 cm. Nilai terendah pada semua parameter pengamatan adalah pada perlakuan tanpa pengeringan atau kontrol (setelah ekstraksi langsung disemai), yaitu 1.33% untuk parameter daya berkecambah dan persentase keserempakan berkecambah. Sedangkan waktu berkecambahnya paling lama yaitu 7.33 hari dan panjang kecambah 5.50 cm.
Daya berkecamabah  mentimun dari hasil penelitian dapat dikatakan rendah, karena daya berkecambah dibawah 50 % sedangkan mutu benih dapat dikatakan bagus apabila mempunyai daya berkecambah di atas 80%. Rendahnya viabilitas benih mentimun ini dimungkinkan karena besarnya kadar air yang kurang tepat untuk perkecambahan. Menurut Wirawan (2002), benih akan mampu berkecambah apabila dapat mengimbibisi air  pada tingkat 33-66%.  Besarnya kadar air dapat dipengaruhi oleh kondisi buah saat dipanen dan pada saat proses pengeringan. Tingkat kemasakan  buah untuk produksi benih yang baik adalah pada saat masak fisiologis, karena pada saat ini benih berada dalam kondisi optimal. Kadar air benih saat masak fisiologis berkisar  antara 25 % - 30%. Menurut Sutopo (2004), benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang demikian tidak akan dapat berkecambah. Nurlovi (2004) dalam Murniati (2008) menambahkan bahwa masak fisiologis benih dicapai pada saat kulit buah 90 – 100 % berwarna kunig. Namun untuk memperoleh benih yang masak fisiologis dari buah yang matang di pohon mengalami berbagai kendala , antara lain gangguan hama, deraan cuaca, resiko buah terjatuh dari pohon, dan rawan pencurian.
Proses pengeringan merupakan salah satu proses yang sangat perlu diperhatikan untuk memperoleh benih dengan kadar air yang optimum. Dalam  proses pengeringan benih dapat diengaruhi oleh berbagai faktor. Prayitna (1984) menjelaskan bahwa kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh tingginya temperatur udara panas, kelembaban nisbi udara luar, kecepatan dan banyaknya udara yang dialirkan melalui masa biji yang dikeringkan serta tersedianya air pada permukaan biji yang dapat diuapkan. 
Proses pengeringan  bertujuan untuk menurunkan kadar air benih. Menurut  Hardini (1985), kadar air benih sangat mempengaruhi sifat kerusakan mekanis benih. Makin tinggi kadar air benih condong untuk memar dan makin rendah kadar air benih condong untuk retak. Sudarsono (1977)  dalam  Hermawan (1999) menambahkan bahwa lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit benih berkerut dan bahkan retak.
Presentase keserempakan berkecambah hasil uji lanjut duncan menunjukkan yang  tinggi nilainya adalah 35.33%. Keserempakan berkecambah merupakan salah satu variebel pengamatan dalam  viablitas benih yang dilakukan pada hari ahir pengamatan berdasarkan jumlah kecambah normal kuat di bagi dengan jumlah biji yang dikecambahkan. Kriteria kecambah menurut  Hartati (1993) dibedakan (a)  kecambah  normal kuat mempunyi akar primer tumbuh panjang dan ada akar sekunder, panjang hipokotil minimum empat kali panjang kotiledon dan tumbuh baik tanpa ada kerusakan serta kotiledon ada dua buah. (b) kecambah normal lemah, akarnya tumbuh panjang dan ada atau tidak ada akar sekunder. Tidak ada akar primer tetapi ada akar sekunder dan tumbuh kuat. Panjang hipokotil minimum empat kali panjang kotiledon dan tumbuh baik, ada kerusakan tetapi tidak  sampaii kejaringan pengangkut serta kotiledon ada dua buah atau hanya satu dan tidak boleh ada kerusakan melebihi 50%. (c) kecambah abnormal, tidak mempunyai akar primer atau akar primer pendek tanpa ada akar sekunder. Hipokotil membengkak  dan pendek atau hipokotil cacat, pendek dan membengkak atau hipokotil bercelah dalam dalam atau luka-luka kecil serta kotiledon keduanya busuk, rusak atau luka-luka kecil.
Hasil penelitian dengan parameter  keserempakan berekcambah benih  mentimun  ini masih tergolong rendah. Rendahnya  keserempakan berkecambah ini mungkin dapat disebabkan oleh kondisi fisik benih yang kurang baik. dimungkinkan  kulit biji rusak pada saat proses pengeringan yang menyebabkan embrio rusak sehingga benih sulit mengimbibisi air. Menurut Suhardi (1990),  pada proses pengeringan awal yang dilakukan pada suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case hardening yaitu bagian luar (permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Agrawal et al., (1998) dalam Arif (2009) menambahkan bahwa pengeringan secara alami dengan menggunakan sumber energy matahari dapat berdampak pada penurunan mutu akibat terpapar pada fluktuasi suhu ekstrim dan curah hujan.
Kulit benih yang terlalu kering akan sulit untuk berkecambah karena proses imbibisi air terhambat. Sedangkan proses imbibisi air merupakan tahap awal dari proses perkecambahan. Menurut Pranoto (1990), fungsi air ialah untuk melunakkan kulit benih sehingga embrio dan endosperma membengkak yang menyebabkan retaknya kulit benih, memungkinkan pertukaran gas sehingga suplai oksigen ke dalam benih terpenuhi, mengencerkan protoplasma sehingga terjadi proses-proses metabolisme di dalam benih dan mentranslokasikan cadangan makanan ke titik tumbuh yang memerlukan.
Perkecambahan yang kurang serempak dapat juga disebabkan oleh tingkat kemasakan buah yang tidak sama sehingga vigor benih menjadi rendah. Vigor  benih  yang rendah dikarenakan oleh cadangan makanan yang ditimbun oleh benih belum maksimum. Menurut Copeland Mc Donald (2001), benih yang masak  fisiologis telah mempunyai cadangan makanan sempurna sehingga dapat menunjang pertumbuhan kecambah. Tingkat kemasakan benih dapat dicirikan dari tingkat kemasakan   buahnya.
Perkecambahan merupakan salah satu proses pertumbuhan dari biji menjadi tanaman melalui berbagai proses pengaktivan cadangan makanan didalam biji tersebut sehingga membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman. Waktu yang dibutukan untuk proses perkecambahan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda nyata anatara yang dikeringkan dengan yang tidak dikeringkan (setelah ekstraksi langsung disemai). Waktu yang dibutuhkan untuk benih dapat berkecambah dipengaruhi juga oleh kondisi dari benih itu sendiri. Benih yang terlalu kering akan sulit untuk mengimbibisi air sehingga waktu yang diperlukan untuk berkecambah akan lebih lama. Menurut Wirawan (2002), benih akan mampu berkecambah jika mengimbibisi air pada tingkat kadar air sebesar 33 - 66%. Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa benih yang langsung disemai memerlukan waktu berkecambah yang paling lama yaitu 7.33 hari. Hal ini disebabkan karena kadar air yang masih tinggi pada benih tersebut.
Hasil uji lanjut pada parameter panjang kecambah menunjukkan bahwa perlakuan lama pengeringan selama 5 hari mempunyai nilai yang tertinggi yaitu 23.80 cm. namun hasil in tidak berbeda nyata dengan pengeringan selama 1, 2, 3,4,6, dan 7 hari. Tapi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pengeringan yang mempunyai nilai terendah yaitu 5.50 cm..
Panjang kecambah yang berbeda ini disebabkan karena perbedaan lamanya proses pengeringan yang tidak konstan serta suhu harian yang tidak menentu. Menurut Agrawal et all (1998) dalam Arif (2009), pengeringan secara alami dengan menggunakan sumber energi sinar matahari dapat berdampak pada penurunan mutu akibat terpapar pada fluktuasi suhu ekstrim dan curah hujan. Menurut Justice dan Bass dalam Sutopo (2002), syarat pengeringan adalah evaporasi uap air dari permukaan benih harus diikuti oleh perpindahan uap air dari bagian dalam ke permukaan benihnya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan, antara lain (1) kondisi benih yang akan dikeringkan, (2) tebal tipisnya timbunan benih, (3) temperatur udara, (4) kelembabab nisbi udara dan (5) aliran udara. Sudarsono (1977) menambahkan bahwa lama pengeringan dan suhu sangat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil dan mutu bahan yang dikeringkan. Pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit benih berkerut dan bahkan retak.
Faktor  yang  menyebabkan  perbedaan panjang kecambah selain dari faktor  pengeringan, dapat  juga disebabkan oleh tingkat kemasakan buah saat panen. Menurut Yupsi (1985) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa buah mentimun yang dipanen 20 hari setelah berbunga menghasilkan benih yang bila ditanam memiliki hipokotil dan akar yang lebih pendek yaitu 5.41 dan 6.49 cm, jika dibandingkan dengan buah yang dipanen 30 hari setelah berbunga. Hal ini disebabkan karena cadangan makanan benih yang tersimpan pada kotiledon belum terisi dengan sempurna atau benih masak yaitu berasal dari buah yang dipanen 30 hari setelah berbunga, hipokotil dan akar tumbuh baik dan panjang sebesar 9.64 cm dan 8.50 cm.

4.3. Pengaruh  Cara Pengeringan dan Lama Pengeringan terhadap Viabilitas Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)
                   Hasil analisis of varians pengaruh proses dan lama pengeringan menunjukkan bahwa signifikansi > 0.05 yang berarti tidak ada pengaruh terhadap interaksi perlakuan. Namun untuk mengetahui hasil yang terbaik pada semua perlakuan tersebut dapat dilihat diagram berikut.

4.3.1. Diagram Daya Berkecambah








4.3.2. Diagram Keserempakan Berkecambah


4.3.3.  Diagram Waktu Berkecambah


4.3.4.  Diagram Panjang Kecambah

Dari gambar diagram di atas dapat dilihat  bawa pada parameter daya berkecambah yang tertinggi adalah pada perlakuan pengeringan panas matahari selama 7 hari yaitu 40% sedangkan yang terendah adalah pada perlakuan tanpa pengeringan sebesar 1.33%. Untuk parameter keserempakan berkecambah hasil yang terbaik adalah pada perlakuan kering matahari selama 5 hari sebesar 37.33% sedangkan hasil yang terendah adalah 1.33% pada perlakuan tanpa pengeringan. Untuk paramater waktu berkcambah menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan panas matahari selama 5 hari paling cepat berkecambah yaitu 5.25 hari dan yang membutuhkan waktu paling lama berkecambah adalah tanpa pengeringan yaitu 7 hari. Pada diagram panjang berkecambah menunjukkan bahwa kecambah yang paling panjang pada perlakuan pengeringan kering angin selama 5 hari yaitu 24.2 cm, sedangkan kecambah yang paling pendek adalah pada perlakuan tanpa pengeringan yaitu 4.1 cm.
                       
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
                     Dari hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1.      Tidak ada pengaruh perbedaan cara pengeringan (kering angin dan panas matahari) terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.)
2.      Ada pengaruh lama  pengeringan  terhadap viabilitas benih mentimun (Cucumis sativus L.). dari hasil peneltian yang mempunyai nilai baik yaitu pada perlakuan pengeringan selama lima hari. Pada parameter daya berkecambah 37.33%. Keserempakan berkecambah 35.33%. Waktu berkecambah 6.06 hari dan panjang kecambah 23.80 cm.

5.2.  Saran
Dari hasil penelitian disarankan untuk penelitian selanjutnya  menggunakan benih mentimun dengan tingkat kemasakan fisiologis yang sama serta paparan pengeringan yang konstan setiap harinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1987. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Bandung : PT. Angkasa

Arief, R. 2009. Mutu Benih Jagung Pada Berbagai Cara Pengeringan. Balai penelitian tanaman Serealia.ISBN : 978-979-8940-27-9

Copeland, L.O. 1976. Seed Science and Technology. USA : Burgess Publ.Co. Minneaplis, p.369

Copeland, L.O., M.B. McDonald.2001. Principles of Seed Science and Tecnhnology. 4th edition. London : Kluwer Academic Publishers. 425p.

Hardini, H. 1985. Kumpulan Makalah Latihan Pengendalian Pengolahan Benih. Jakarta : Dirjen Pertnian Tanaman Pangan

Hartati, S. 1993. Teknik Pengujian Mutu Benih Tanaman Kenaf, Rosela dan Yute. Malang : Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat.

Hermawan, E. 1999. Pemanfaatan Energi Surya dalam Pengeringan Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)

Hidayat, G.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung : ITB

Kamil, J. 1979. Teknologi Benih. Padang : Angkasa Raya

Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi Produksi dan Sertifikasi Benih. Yogyakarta : Penerbit Andi

Loveless, A.R. 1989. Principles of  Plant Biology for the Tropics. Terjemahan Kuswata Kartawinata, Sarkat Danimiharja dan Usep Soerisna. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama

Mugnisjah, W.Q. dkk. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Muttaqin, Z. 2010. Pengaruh Pupuk Kandang dengan Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.)

Prayitna, A.S. 1984. Pengeringan dan Pengolahan Benih Padi, Jagung dan Kacang-Kacangan. Sukamandi : Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan

Rukmana, R. 1994. Budidaya Mentimun. Yogyakarta : Kanisius

Sadjad. 1980. Panduan Mutu Benih Tanaman Kehutanan di Indonesia. Bogor :IPB

Sa’diyah, H. 2009. Pengaruh Invigorasi menggunakan Poly Etilen Glikol (PEG) 6000 terhadap Viabilitas Benih Rosela (Hibiscus dabdariffa).

Sudarsono.1977. Masalah Pengeringan Benih. Hal.197-216. Dalam Sadjad (ed). Dasar-Dasar Teknologi Benih. Capita Selekta. Bogor : IPB

Suhardi, T. 1990. Prospek Pengembangan Industri Pengeringan Hasil Pertanian. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian .

Sumpena. 2006. Respon Hasil,Viabilitas dan Vigor Benih Mentimun (Cucumis sativus L.) Kultivar Saturnus terhadap Perlakuan Atonik.J.Agrivigor 5 (3) : 287-292

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Widhi, A. 2000. Pengaruh Pemberian Triacontanol terhadap Produksi dan Viabilitas Benih Ketimun (Cucumis Sativus L.) vol 28 (3) 85-90 (2000).

Wirawan, B. Dan Wahyuni, S. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat. Jakarta : Penebar Swadaya.

Yupsi.1986. Pengaruh Cara pembersihan Lendir, Pengeringan Benih dan Tingkat Kemasakan Benih Ketimun (Cucumis sativus L.) Karya Ilmiah. Bogor : IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar