Penelitian terhadap keragaman genetik pada suatu tanaman merupakan salah satu kegiatan penting untuk mendukung pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap sutu penyakit. Hal ini dapat diawali dengan pemilihan klon yang tahan yang kemudian digunakan sebagai tetua dalam program persilangan. Keragaman genotip plasma nutfah merupakan modal dasar untuk keberhasilan program pemuliaan. Keragaman genotip ini dapat dideteksi melalui beberapa penanda, anatara lain dengan pola pita DNA yang sering disebut sebagai penanda molekuler.
Teknik molekuler bervariasi dalam cara pelaksanaan untuk mendapatkan data. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menetapkan keragaman genetic antar klon dan plasma Nutfah, diantaranya dengan menggunakan isoenzim,RAPD dan AFLP.
Teknik RAPD tidak memerlukan pelacak atau informasi mengenai sekuens DNA yang dilacak. Prosedur sederhana dapat dilakukan secara maksimal untuk contoh dalam jumlah banyak , jumlah DNA yang diperlukan sedikit dan pengerjaannya tidak menggunakan radioaktif. Kelemahan dari RAPD kadang-kadang hasilnya tidak konsisten disebabkan oleh rendahnya akurasi pengulangan hasil amplifikasi. Pada RAPD ini, reaksi amplifiksai DNA nya dilakukan dengan menggunakan Thermo II Thermal Cycler yaitu dengan kondisi PCR adalah satu siklus 3 menit pada suhu 94ºC dan diikuti dengan 45 siklus selama 1 menit. Pada suhu 94ºC(denaturasi), menit pada suhu 37ºC (annealing), 2 menit pada suhu 27 ºC. setelah amplifikasi , produknya kemudian di fraksinasi dengan elektroforesis 1,4% gel agarosa yang dijalankan pada 5V/cm dengan buffer TAE (40 mM trisasetat, 1 nM EDTA, pH 8.0) selama 3 jam, dan dideteksi mengunakan etidium bromide. Gel yang sudah diwarnai dengan etidium bromide divisualisasikan dengan pencahayaan UV transiluminator dan didookumentasikan dengan foto Polaroid tipe 667.
Pada teknik AFLP lebih banyak membutuhkan tenaga dan lebih mahal daripada analisis RAPD, namun lebih banyak jumlah lokus yang dapat diperoleh dari setiap reaksi. Teknik AFLP didasarkan pada amplifikasi selektif menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) terhadap sekumpulan DNA genomik yang sebelumnya dipotong dengan enzim restriksi dan diligasikan dengan adapter berupa oligonukleotida utas ganda. Primer untuk memulai amplifikasi mengandung sekuen adapter serta sekuen enzim restriksi yang sesuai dan komplemen dengan fragmen DNA. Dengan metode tersebut sejumlah besar fragmen DNA dapat diamplifikasi dan divisualisasikan pada poliakrilamid gel yang sudah didenaturasi tanpa memerlukan pengetahuan tentang sekuen nukleotida. Untuk setiap pasangan primer selektif dapat divisualisasikan sekitar 50 – 100 fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi pada sekuensing gel. Oleh karena setiap fragmen dianggap mewakili satu karakter tertentu maka sejumlah besar karakter dapat divisualisasikan untuk setiap pasangan primer. Teknik AFLP telah banyak digunakan dalam mempelajari marka genetik untuk mendapatkan peta keterpautan atau untuk mengidentifikasi marka molekuler yang terpaut dengan fenotipik tertentu.
Penyakit yang sering kali terdapat pada tanaman karet yaitu penyakit gugur daun Corynespora (PDGC) yang disebabkan oleh pathogen Crynespora asiicola . PDGC ini merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan penurunan terhadap produktivitas tanaman karet. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Haris dkk (2003) dijelaskan bahwa kemiripan dalam sepuluh klon karet yang berasal dari koleksi Wickham dipelajari dengan menggunakan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) menunjukkan bahwa klon – klon tersebut memiki tingkat resistensi berbeda terhadap Crynespora asiicola. Keterangan ini dapat diamati dari antar kelompok tingkat resistensi terhadap C. cassiicola diketahui bahwa klon resisten IRR 100 memiliki kemiripan genetik tertinggi 90,5% dengan klon rentan RRIC 103, sedangkan dengan klon rentan lainnya yaitu PPN 2444 dan IAN 873 masing-masing mencapai 89,5% dan 89,0%. Kemiripan genetik 3 klon resisten lainnya yakni AVROS 2037, PR 255 dan BPM 1 terhadap 3 klon rentan tersebut sama, yaitu 88,0%. Sedangkan klon resisten RRIC 100 memiliki kemiripan genetik 85,0% dengan 3 klon rentan RRIC 103, PPN 2444 dan IAN 873. Di antara 5 klon resisten, klon IRR 100 memiliki kemiripan genetik tertinggi dengan 3 klon rentan yang digunakan. Namun karena klon IRR 100 merupakan klon yang relatif baru dibandingkan dengan 4 klon resisten lainnya, dan pengujian resistensinya terhadap C. casiicola relatif masih terbatas di beberapa lokasi saja sehingga klon tersebut tidak dipilih untuk digunakan dalam studi ekspresi gen. Klon resisten dan klon rentan yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah AVROS 2037 dan PPN 2444 dengan pertimbangan bahwa distribusi klon AVROS 2037 telah ditanam cukup luas dan merupakan klon yang dihasilkan melalui persilangan buatan yang dilakukan di Indonesia. Kedua klon tersebut memiliki kemiripan genetik mencapai 88,0% dengan marka AFLP. Sedangkan berdasarkan marka RAPD kedua klon yang sama hanya memiliki kemiripan genetik 75% (Nurhaimin Haris et al., 1998). Hasil tersebut cukup menjelaskan bahwa penajaman analisis dapat dilakukan dengan melibatkan karakter genetik yang lebih banyak.
Kesamaan genetic antar beberapa klon yang tergolong dan rentan terhadap penyakit juga dapat di identifikasi dengan kombinasi RAPD dan AFLP. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathius dkk. (2002) menunjukkan bahwa tipe dendogram gabungan penggabungan mengikuti dendogram AFLP . sedangkan berdasarkan analisis UPGMA kombinasi RAPD dan AFLP menunjukkan bahwa fenogram terbagi menjadi dua dengan koefisien kesamaan genetic 65 %. Kelompok satu terdiri atas dua sub kelompok yaitu RRIC 100, dan RRIM 600, GTI, PB260 serta BPM1 yang tergolong resisten dan sub-sub kelompok kedua yang beranggotakan PPN2058, PPN244 yang tergolong rentan.
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa keragaman genetic pada suatu tanaman dengan identifikasi pada tingkat molekuler, yaitu DNA dapat di gunakan untuk mengetahui suatu penyakit dari tanaman. Teknik yang digunakan dapat berupa RAPD dan AFLP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar